REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH—Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi menyarankan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggara Ibadah Haji dan Umroh harus diperbaiki. Saran ini setelah banyak persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji furoda yang visanya keluar di waktu yang sudah mendekati prosesi puncak haji.
“Kasus furodah itu muncul menjelang prosesi haji, orang kesulitan mencari visa. Dan tidak jelas sumbernya dan kalaupun ketemu harganya jauh lebih mahal dari waktu-waktu sebelumnya,” kata kata Syam Resfiadi seperti dilaporkan Republika, Sabtu (21).
Untuk itu kata Syam persoalan haji furodah ini perlu diatur di dalam UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019. Sehingga, masyarakat yang ingin menggunakan haji mujamalah dan furodah ini mendapatkan kepastian.
“Saya memberikan saran positif, bahwa UU Haji dan Umroh Nomor 8 tahun 2019 harus diperbaiki dengan menambah pasal tentang visa haji furoda diambil dari kuota nasional namun berbayar dengan harga yang stabil,” ujarnya.
Jadi kata, Syam Pemerintah dan DPR di Komisi VIII bisa menetapkan kuota untuk haji furoda ini ditentukan harganya untuk dibeli oleh pihak swasta. Uang hasil dari kuota haji furoda itu bisa dipergunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Syam mengatakan, jika Pemerintah dan DPR menyetujui kuota haji mujamalah menjadi komersial atau bayar jika swasta ingin menggunakannya, maka perubahan peraturan perundang-undangan itu tinggal disosialisasikan kepada Pemerintah Arab Saudi.
“Jika disetujui perbaikan UU Nomor 8 tersebut dilanjutkan dengan memberi informasi melalui jalur diplomasi bahwa ada perubahan peraturan tersebut tentang jumlah presentasi haji khusus yang 8 persen dari kuota nasional lalu sekian persen dari kuota nasional untuk mujamalah,” katanya.
Sehingga, kata Syam, bagi mereka yang tidak ingin antri bisa dapat jaminan kuota haji dengan syarat yang sama. Namun membayar lebih mahal ke BPKH untuk dimaksimalkan manfaatnya juga untuk kegiatan Agama dan Sosial di Indonesia.
Ali Yusuf