Kontrakolonial
Pada masa itu, Pemerintah Kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya mendirikan banyak sekolah dengan tujuan bisa menghancurkan kekuatan para kiai dan pesantrennya.
Untuk itulah, Kiai Abbas mendirikan madrasah di bawah pesantren dengan tujuan tetap bisa mengikuti perkembangan zaman, tapi eksistensi pesantren tetap dipertahankan.
Resolusi jihad dan perlawanan terhadap penjajah terus dilakukannya. Selain tampil dalam forum dalam organisasi pergerakan nasional, ia juga sering tampil mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan fisik.
Segala tindak-tanduk Kiai Abbas membuat Belanda geram. Berbagai ancaman pun dilakukan, tapi selalu bisa ditangkis olehnya. Ia bahkan mengadakan latihan perang di pesantrennya dan memberi nama pasukannya Asybal dan Athfal.
Begitu pula saat Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Pada zaman revolusi kemerdekaan, Pesantren Buntet tampil sebagai tempat penggemblengan pasukan PETA, Hizbullah, dan Sabilillah.
Saat Belanda bersikukuh melancarkan agresi militer kepada Indonesia sekalipun RI telah merdeka, para tokoh Muslim ini pun tampil untuk melawan. Fatwa resolusi jihad pun dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari.
Kiai Abbas ikut tampil di garis terdepan menuju Surabaya. Dalam perlawanan fisik langsung seperti ini, banyak kaum cendekiawan Muslim yang gugur, tetapi tak pernah mematahkan semangat para mujahid yang berjuang demi tegaknya kemerdekaan RI dan Islam.
Pada masa kemerdekaan, Kiai Abbas diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang kedudukannya sebagai DPR sementara. Ia menjadi perwakilan para ulama dari Jawa Barat.
Pada 1 Rabiul Awal 1365 H atau 1946, Kiai Abbas mengembuskan napas terakhir. Ia sangat terpukul setelah mendengar penandatanganan Perjanjian Linggarjati yang banyak merugikan bangsa Indonesia.