IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Sudah menjadi tradisi sejak ribuan tahun yang lalu orang Arab memberi makan dan minum kepada para jamaah haji. Tradisi menjamu makanan ini mulai dari keluarganya Nabi Muhammad SAW yakni pada zaman kakek Rasulullah ketiga yakni Abdul Manaf putra Qushoi bin Kilab.
Kepala Kantor Urusan Haji Konsulat Jenderal (KUH KJRI) Jeddah, Nasrullah Jasam dalam bukunya "Catatan Pelayan Tamu Allah", melihat sejarah penyelenggaraan ibadah haji dan keterlibatan leluhur Rasulullah SAW dalam melayani jamaah haji. Nasrullah sering memberikan motivasi kepada para petugas PPIH bahwa tugas yang kita emban sebagai PPIH ini adalah tugas mulia.
"Tugas yang sebelumnya pernah dilakukan oleh leluhur Rasulullah SAW," katanya.
Tradisi melayani makan dan minum jamaah haji sudah ada sejak dahulu, bahkan pada zaman Rasulullah SAW. Mengingat pentingnya tugas siqayah atau petugas yang memberikan minum, para sahabat yang bertugas melayani minum jamaah haji dibolehkan untuk tidak bermalam di Muzdalifah. Maksudnya agar pelayanan air sudah siap ketika jamaah yang bermalam di Muzdalifah sudah tiba di minat.
"Hal ini pernah saya sampaikan ke petugas layanan kesehatan ketika mereka ragu untuk tidak bermalam di Muzdalifah," katanya.
Hal ini disampaikan, karena sebagian dari para dokter dan perawat ini khawatir hajinya tidak sah atau kurang sempurna. Nasrullah menyampaikan kepada petugas kesehatan, pada zaman Nabi SAW, petugas yang memberikan minum saja dibolehkan untuk tidak mabit di Muzdalifah.
"Apalagi tenaga kesehatan yang tugasnya jauh lebih kompleks. Mulai dari menyiapkan obat, fasilitas klinik, alat-alat medis dan lain-lain, tetentu diberikan keringanan untuk tidak bermalam di Muzdalifah," katanya.
Kata dia perlu diingat jika kita memposisikan diri sebagai pelayan, maka pelayan harus sudah siap sebelum tamunya datang. Jadi menjamu dan melayani tamu-tamu Allah adalah tugas yang sangat mulia, karena itu slogan "Melayani Jamaah Haji Adalah Kehormatan Bagi Kami" terpampang di banyak tempat di Arab Saudi.
Untuk para petugas haji, kesempurnaan ibadahnya terletak pada keseriusannya dalam melayani bukan pada seberapa seringnya ia ke Masjidil Haram untuk sholat jamaah atau seberapa seringnya ia melaksanakan ibadah umroh. Semakin ia sering ke Masjidil Haram dan berumroh maka semakin sering pula ia meninggalkan tugasnya.
"Logikanya di tengah pekerjaan melayani jamaah yang sangat padat, kemudian di satu sisi yang melaksanakan ibadah hari layaknya jamaah haji, pasti akan sangat menguras fisiknya yang pasti ada yang dikorbankan entah itu tugasnya atau ibadahnya," katanya.
Nasrullah Jassam menceritakan, pernah dia menemukan ada petugas yang umroh 3- 4 kali dalam seminggu. Tetapi ketika kedatangan jamaah yang bersangkutan malah istirahat karena kelelahan umroh padahal melayani jamaah haji juga bagian dari ibadah, yang bisa jadi pahalanya lebih besar dari umroh yang ia lakukan.
"Jadi sekali lagi jangan lupa bawa petugas haji adalah pelayan jamaah haji. Ibadahnya mungkin minimal tetapi ganjarannya maksimal," katanya.
Setiap kita yang memiliki kelebihan rezeki juga berkesempatan menjamu, terutama menjamu orang-orang yang tidak mampu karena sesungguhnya orang yang diberikan kelebihan rezeki adalah orang yang dititipkan rezeki orang lain melalui tangannya, oleh Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana sabda Nabi Muhammad.
"Sesungguhnya Allah SWT memilih kaum-kaum yang secara khusus diberikan nikmat untuk kemanfaatan para hamba, Allah SWT menetapkan mereka dalam nikmat-nikmat itu sepanjang mereka mendermakannya. Jika nereka menolak, maka nikmat-nikmat itu akan dicabut dari mereka dan dialihkan ke orang lain." (HR. Muslim dan Ibnu Abu ad Dunya).