IHRAM.CO.ID, Irak merupakan bagian penting dari sejarah peradaban Islam. Kota-kota di Irak pernah menjadi pusat ilmu dan pemerintahan khalifah meski diwarnai pula dengan aneka pertempuran dan perang. Pada awal milenium ini, Irak harus berhadapan dengan serangan Barat yang tak hanya menghilangkan banyak nyawa, tapi juga peninggalan sejarah termasuk sejarah Islam.
Keprihatinan terhadap manuskrip yang entah seperti apa kondisinya pascainvasi Amerika Serikat (AS) ke Irak, membuat Geoffrey Roper menuliskannya secara khusus dalam tulisan The Fate of Manuscripts in Iraq and Elsewhere yang dimuat laman Muslim Heritage.
Pada periode awal Islam, kata Roper, Irak punya peran penting dalam produksi naskah keilmuan. Kota Kufa yang sempat menjadi ibu kota kekhalifahan kala itu, pada 17 Hijriyah atau 638 Masehi, menjadi pusat menulis para alim. Bahkah istilah Kufic yang menjadi salah satu gaya penulisan huruf Alquran diambil dari nama kota itu.
Kota Basra juga sempat menjadi 'kembang' pada era literatur prosa Arab dan menjadi kota kelahiran penulisan gramatikal Arab serta pusat perkembangan puisi era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah. Perpustakaan penting bermunculan kemudian.
Di antara banyak kota di Irak, Baghdad adalah yang terpenting bagi perkembangan literatur Islam setelah selama empat abad menjadi ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah. Setidaknya ada 4.300 karya yang beredar di sana pada abad ke-10 dengan spektrum tema yang luas, dari filosofi hingga sains.
Karya-karya para penulis Islam itu kemudian disimpan di berbagai perpustaan publik. Ada pula yang tersimpan di perpustakaan pribadi yang terbuka untuk publik.
Baghdad mulanya merupakan ceruk ilmu yang seakan tiada habisnya. Hingga pada 1258 Masehi, datanglah peristiwa yang dianggap bencana besar bagi peradaban Muslim dan budaya ilmu Islam. Bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulegu Khan menaklukan Baghdad. Tak hanya memenggal khalifah dan sebagain besar Muslim di sana, menurut Ibnu Khaldun, pasukan ini juga membuang karya para ulama ke Sungai Tigris.