IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni lahir pada 362 H/973 M di Beruniy, sebuah distrik region Asia Tengah. Pada masa itu, daerah tersebut termasuk wilayah Negeri Khwarazmi--kini Republik Uzbekistan.
Sejak abad kedelapan, Khwarazmi diperintah oleh Dinasti Afrighidiyah. Raja-rajanya tunduk pada sistem kekhalifahan, baik pada era Umayyah maupun Abbasiyah. Kath merupakan pusat pemerintahan kerajaan ini.
Saat berusia muda, al-Biruni merantau ke Kath. Ia belajar ilmu-ilmu agama kepada sejumlah ulama setempat. Di kota yang sama, remaja yang selalu haus akan pengetahuan itu mulai mengenal dunia sains.
Salah seorang gurunya adalah Abu Nashr Manshur (960-1036 M). Murid Abu al-Wafa (940-998 M) itu dikenal antara lain sebagai penemu hukum sinus. Al-Biruni mulai mempelajari matematika di bawah bimbingan sang ilmuwan.
Pada 995, Kath diserang wangsa Ma'mulniyah. Al-Biruni kemudian ikut dalam rombongan yang hijrah ke Bukhara, yang ketika itu dikuasai Dinasti Samaniyah. Dalam masa ini, ia berkenalan dengan Ibnu Sina (980-1037 M). Belakangan, melalui surat-surat keduanya sering kali bertukar pikiran, antara lain, mengenai topik filsafat dan fisika Aristoteles.
Pada 998, al-Biruni merupakan salah seorang intelektual yang memenuhi undangan Raja Qabus. Ia pun berangkat ke negeri sultan tersebut, yakni Tabaristan. Lokasinya berada di Iran Utara atau sekitar pesisir selatan Laut Kaspia.
Selama menjadi tamu Raja Qabus, al-Biruni menyambangi Bawandiyah, salah satu jiran Tabaristan. Di sana, dirinya diterima Raja Marzuban. Pada fase ini, ia menyelesaikan karya tulis pertamanya, yakni Al-Atsar al-Baqiyyah `an al- Qarun al-Khaliyyah(Jejak-Jejak dari Abad Silam).
Buku tersebut membahas berbagai peristiwa besar yang terjadi di dunia Islam pada masa itu. Di dalamnya ada pula beragam informasi tentang tradisi dan pencapaian peradaban- peradaban non-Muslim.
Al-Biruni sebenarnya berharap Dinasti Afrighidiyah dapat terus bertahan. Namun, Ma'muniyah terbukti lebih kuat. Penguasa-baru itu kemudian membangun pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Khurasan dan Transoxiana.
Al-Biruni kembali ke Kath guna menjadi diplomat Dinasti Ma'muniyah. Ia pun memanfaatkan beragam fasilitas yang disediakan kerajaan untuk meneruskan kajian-kajian keilmuan.Reputasinya semakin dikenal luas.
Pada awal abad ke-11, Dinasti Ghaznawiyah mengalahkan Ma'muniyah. Ketika itu, al-Biruni bermukim di Ray--sebuah daerah di arah selatan Tehran, Iran. Dirinya sedang mempelajari astronomi di observatorium setempat yang didirikan Abu Mahmud Hamid al-Khajandi (940-1000 M).
Mahmud Ghazni membawa Ghaznawiyah pada fase kemajuan. Dialah pemimpin pertama yang menggunakan titel sultan dalam sejarah. Di bawah pemerintahannya, kerajaan tersebut mencakup wilayah yang amat luas; mulai dari dataran tinggi Persia di sisi barat hingga melewati daerah aliran sungai (DAS) Indus di sisi timur.
Sultan Mahmud Ghazni mendirikan kota baru yang diberinya nama Ghazna--sekira 150 km arah barat daya Kabul, Afghanistan. Ia lalu mengumpulkan cerdik cendekia dari seluruh penjuru negeri ke sana. Dari Ray, al-Biruni pun turut berpindah ke ibu kota Ghaznawiyah itu.
Sultan Mahmud kemudian menunjuknya sebagai ahli falak kerajaan. Al-Biruni juga diberikan keleluasaan untuk mendirikan observatiorium di dekat Kabul. Sang ilmuwan menghabiskan hari-harinya dengan mengamati dan meneliti benda-benda langit. Salah satu karyanya dalam bidang astronomi adalah kitab al-Tafhim li- Awa'il Sina`at al-Tanjim.
Bagaimanapun, minatnya terhadap ilmu kemasyarakatan justru menguat selama dirinya tinggal di Ghazna. Saat menyambangi permukiman di DAS Indus, al-Biruni terkesima akan budaya penduduk lokal. Ia juga mengagumi peradaban India dan mulai mempelajari bahasa Sanskrit.