IHRAM.CO.ID, Ketika pasukan Arab berhasil memasuki Aleksandria pada akhir tahun 641 M, mereka mendapati berbagai kemegahan arsitektural di seluruh penjuru ibu kota Mesir itu. Amr Ibn al-Ash yang memimpin ekspedisi penaklukan mengirim surat kepada khalifah Umar Ibn al-Khattab di Madinah, bercerita mengenai kemegahan kota yang dibangun Bizantium itu. ''Kami telah mengambil alih kota yang memiliki 4.000 vila dengan 4.000 pemandian, 40 ribu orang Yahudi pembayar pajak, dan 400 tempat hiburan untuk para bangsawan.''
Isi surat Amr yang dikutip Philip K Hitti dalam bukunya History of the Arabs itu penuh hiperbola, jelas menggambarkan kekaguman pasukan Arab atas Aleksandria. Amr sendiri menemukan beberapa vila dan istana yang telah ditinggalkan penghuninya, membuatnya tergoda untuk memakainya sebagai kantor pemerintahan.
Namun, khalifah punya ide yang berbeda. Umar bersikeras agar pusat pemerintahan Mesir yang baru harus berada dekat Benteng Babilonia, sekitar 220 kilometer tenggara Aleksandria di tepian timur Sungai Nil, tepat berhadapan dengan Pulau Rawdah, dekat lokasi Kota Kairo sekarang ini.
Pertimbangannya, komunikasi antara bekas benteng Romawi itu dengan Madinah lebih mudah, hanya butuh satu pekan berkuda. Umar sendiri sangat menjaga kontrol atas pasukan Arab yang saat itu juga sedang menjalankan ekspedisi penaklukan di Suriah dan Persia. Lagi pula, posisi Aleksandria yang terletak di sebelah barat Sungai Nil membuatnya lebih sulit dijangkau dalam keadaan darurat, apalagi kala musim banjir.
Aleksandria juga merupakan kota pelabuhan besar yang berarti mempunyai akses langsung ke laut, satu hal yang tak sanggup dipertahankan oleh pasukan Arab yang kala itu belum punya angkatan laut.
Pertimbangan terakhir ini segera menemui pembuktian kebenarannya beberapa tahun kemudian ketika pasukan Bizantium datang dari Konstantinopel untuk menguasai Aleksandria. Penyebabnya, penduduk kota itu jengkel dengan beratnya pajak yang ditetapkan Abdullah Ibn Sa'ad, gubernur Mesir yang ditunjuk khalifah Usman Ibn Affan. Amr Ibn al-Ash yang gagal menjadi gubernur Mesir terpaksa harus merebut kembali kota itu.
Para ahli sejarah menduga Umar juga punya tujuan lain dengan menjauhkan pasukan Arab dari simbol kemegahan budaya Romawi-Yunani itu. Pasukan Arab yang baru lahir dari rahim peradaban Islam itu dikenal merupakan gerombolan yang rela mati, terbiasa menjalani hidup sederhana dan keras, dan moralnya sangat terjaga. Mungkin saja khalifah tak ingin reputasi ini terkikis oleh pola hidup mewah dan nyaman di vila dan istana Aleksandria.
Belum lagi potensi pengaruh gaya hidup dan budaya setempat. Pasukan Arab boleh mengklaim mereka punya standar moral yang tinggi, namun jelas mereka sedang berhadapan dengan peradaban dunia yang kelasnya jauh lebih tinggi yang sudah punya sistem pemerintahan teratur dan perdagangan yang maju.
Itulah mengapa pasukan Arab akhirnya mendirikan pusat pemerintahan sendiri yang terpisah dari pengaruh Bizantium, di dekat Benteng Babilonia, di sebuah tempat yang diberinama Fustat.