IHRAM.CO.ID, Menurut Richard Yeomans dalam bukunya The Art and Architecture of Cairo, Fustat tumbuh dari sebuah kamp militer yang dikelilingi banyak permukiman dari berbagai suku dan klan dalam pasukan Arab. Pasukan Arab sendiri juga tidak monolitik.
Seperti diceritakan WB Kubiak dalam bukunya al-Fustat, di dalam pasukan ekspedisi penaklukan Mesir itu juga banyak orang Bizantium, Yahudi, orang Mesir asli, Persia, Etiopia, Nubia, dan berbagai bangsa lain. Tiap kelompok masyarakat awal Fustat itu diberi jatah permukiman menurut etnis, kesukuan, dan status ekonominya.
Diperkirakan ada 30 sampai 40 permukiman berdasarkan kesukuan. Ada salah satu permukiman yang warganya terdiri dari berbagai suku yaitu Ahl ar-Raya, merupakan pusat komando yang dihuni pemimpin senior Arab. Sementara, pemukim non-Arab biasanya dipisahkan dari orang Arab.
Awalnya, Fustat hanya diisi oleh prajurit yang kemudian disusul oleh para keluarganya sehingga jumlah penduduk melonjak akibat adanya kelahiran baru dan juga migrasi dari Semenanjung Arabia dan Suriah. Bahkan, ada seluruh suku yang dari Semenanjung Arabia yang awalnya tak terlibat dalam penaklukan Mesir akhirnya ikut pindah ke Fustat yang lebih subur dan menjanjikan kehidupan ekonomi yang lebih baik dibanding kampung halaman yang hanya padang pasir gersang.
Salah satu dampak penaklukan Mesir adalah meningkatnya jumlah budak kulit hitam dari Nubia dan budak kulit putih dari Mediterania yang populasinya di Fustat bahkan nyaris menyamai orang Arab.
Saat Khalifah Muawiyah Ibn Abu Sofyan berkuasa di Damaskus menggantikan pusat kekuasaan Dunia Islam di Madinah, jumlah penduduk Fustat sudah berkembang tiga kali lipat menjadi 40 ribu jiwa. Mulai saat itu, pembatasan terhadap permukiman non-Muslim mulai dilonggarkan.
Muawiyah adalah pemimpin Islam yang pertama kali memperkenalkan sistem administrasi pemerintahan, meniru Romawi dan Persia, karena masa penaklukan yang dimulai Umar dianggap sudah rampung. Pada masa damai, pemerintahan lebih membutuhkan tenaga administrasi, keuangan, pedagang, akademisi, dan seniman, seiring dengan tergerusnya peran kelompok elite militer dalam kekuasaan. Di sinilah peran kelompok non-Muslim yang lebih berpengalaman dalam pemerintahan, seni, dan ekonomi mulai dibutuhkan.
Karena itu, populasi warga Kristen Koptik sebagai kelompok agama terbesar di Mesir saat itu, terus meningkat di pinggiran Kota Fustat. Kelompok masyarakat yang dikenal ahli dalam seni dan kerajinan, selain kemampuan literatur, itu diperbolehkan untuk membangun gereja baru. Beberapa tempat ibadat, seperti Gereja St Menas dan St Maria bahkan dibangun di dalam kantong permukiman Muslim dekat reruntuhan bangunan Koptik lama, seperti Abu Shenuda.