IHRAM.CO.ID, Beberapa jam setelah pasukan Turki Usmani (Ottoman) ber hasil merebut Kota Konstantinopel dari tangan tentara Bizantium pada 29 Mei 1453, Sultan Mehmet II memasuki kota itu dari Gerbang Adrian (Adrianople) yang kemudian diberi nama Edirne Kapi. Sang penakluk lalu mengendarai kudanya menuju Hagia Sofia, sebuah katedral yang melambangkan Kebijaksanaan Ilahi.
Sebelum memasuki bangunan gereja megah itu, dia turun dari kudanya dan bersimpuh. Sultan kemudian menaburkan sejumput debu tanah ke atas turbannya sebagai bentuk rasa syukur dan takzim mengingat nama Hagia Sofia dihormati, baik oleh kalangan Muslim maupun Kristen. Setelah meninjau bangunan gaya Yunani itu, dia memerintahkan untuk mengubahnya menjadi masjid dengan tetap mempertahankan nama lamanya, Aya Sofia Kabir atau Masjid Agung Hagia Sofia.
Kekaisaran Romawi Timur membangun Konstantinopel di daratan sebelah selatan perairan muara sungai yang bernama Golden Horn, di sisi barat Selat Bosporus yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Maramara. Ada juga bagian kota yang berada di seberang utara perairan Golden Horn yang dikenal dengan nama Galata.
Konstantinopel lama terletak di daratan Benua Eropa saat ini, dikelilingi tembok yang membentengi tujuh bukit. Setelah inspeksi Hagia Sofia, sultan menyempatkan diri memeriksa reruntuhan Istana Bizantium yang terletak di lereng Bukit Pertama. Istana itu telah ditinggalkan sejak bangsa Yunani merebut Konstantinopel dari tangan penguasa Romawi Latin pada 1263 atau penaklukan pertama Konstaninopel.
Sejak huru-hara antarpenganut Kristen itu, penguasa Bizantium tinggal di Istana Blachernae yang terletak di lereng Bukit Kelima yang posisinya berhadapan dengan Gol den Horn. Menurut John Freely dalam bukunya, ‘Istanbul, The Imperial City, istana itu mengalami kerusakan parah selama masa pengepungan Ottoman yang telah membuat hati Mehmet terluka. ‘’Laba-laba menjalin ti rai Istana Caesar, burung hantu melantun kan panggilan malamnya dari Menara Afrasiah,’’ kata sultan mengutip sajak melankolis penyair Persia Saadi.
Pekerjaan besar pertama yang dilakukan Mehmet II atau dikenal dengan julukan Sultan Fatih (sang penakluk) adalah mengembalikan populasi kota yang kemudian diberi nama Istanbul atau Istambul itu. Sebagian besar penduduk Konstantinopel telah mengungsi sejak satu dekade sebelum penaklukan oleh Otto man yang menewaskan 4.000 orang Yunani itu. George Scholarios atau dikenal sebagai Gennadius, uskup pertama Gereja Ortodoks Yunani Konstantinopel setelah ditaklukkan Ottoman, menyebut bahwa sebelum penak lukan 1453 kota itu penuh reruntuhan, kemis kinan, dan ditinggalkan warganya.
Kritovoulos dalam buku biografi Sultan Mehmet II, ‘History of Mehmed the Conqueror‘, menceritakan upaya sang penguasa baru Konstantinopel itu untuk mengisi kembali kota dengan penduduk. ‘’Dia mengirimkan perintah ke segala penjuru negeri bahwa sebanyak mungkin penduduk dipindahkan ke kota itu, tak hanya warga Kristen, tapi juga warganya sendiri (Muslim) dan banyak Yahudi. Dia mengumpulkan mereka semua dari segala penjuru Asia dan Eropa dengan cepat dan penuh perhatian, warga dari segala bang sa, dan terutama sekali penganut Kristen.’’
Warga non-Muslim dikelompokkan dalam millet atau kebangsaan, terutama menurut aga ma. Millet Yunani dipimpin uskup dari Gereja Ortodoks Yunani. Kelompok Armenia dipimpin oleh uskup Gregorian dan warga Ya hudi diatur oleh rabi kepala. Para pemimpin tiap millet diserahi tanggung jawab dalam ke lompoknya tak hanya dalam soal agama saja, tetapi dalam berbagai urusan lain, kecuali ma salah pidana yang selalu diselesaikan di depan hakim negara. Sistem millet yang diwariskan Fatih diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sampai akhir Kerajaan Ottoman, yang telah membentuk karakter multietnis Istanbul.