Jumat 11 Nov 2022 15:31 WIB

Industri Halal Sebaiknya Dipasarkan dengan Bahasa Bisnis

Masyarakat masih melihat industri halal dari sudut pandang agama.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Pengunjung melihat produk salah satu stand saat Jogja Halal Fest (JHF) di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Kamis (3/11/2022). JHF kali ini melibatkan 350 pelaku usaha halal dari berbagai industri, mulai dari makanan, kosmetik, fashion, kesehatan, dan lainnya. Acara yang diadakan hingga Ahad (6/11/2022) mendatang ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan informasi produk-produk halal bagi masyarakat. Industri Halal Sebaiknya Dipasarkan dengan Bahasa Bisnis
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pengunjung melihat produk salah satu stand saat Jogja Halal Fest (JHF) di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Kamis (3/11/2022). JHF kali ini melibatkan 350 pelaku usaha halal dari berbagai industri, mulai dari makanan, kosmetik, fashion, kesehatan, dan lainnya. Acara yang diadakan hingga Ahad (6/11/2022) mendatang ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan informasi produk-produk halal bagi masyarakat. Industri Halal Sebaiknya Dipasarkan dengan Bahasa Bisnis

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Persatuan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) Riyanto Sofyan menyampaikan industri halal sebaiknya dipasarkan dengan bahasa bisnis, bukan dengan bahasa agama atau syariah. Artinya melihat industri halal harus dengan perspektif bisnis.

Riyanto mengatakan masyarakat masih melihat industri halal dari sudut pandang agama, bukan sudut pandang industri dan ekonomi. Mungkin hal ini terjadi karena adanya polarisasi masyarakat menjadi dua kubu pada tahun politik 2019.

Baca Juga

Untuk itu, Riyanto mengingatkan, industri halal jangan dibawa ke ranah sosial politik, tapi bawa ke ranah industri dan ekonomi. "Untuk mengedukasi masyarakat agar lebih memahami industri halal, publik harus diberi tahu bahwa industri halal adalah bisnis yang prospektif," kata Riyanto kepada Republika, Jumat (11/11/2022).

Ia menceritakan, sepuluh tahun yang lalu, di mal sulit mendapatkan tempat sholat yang nyaman. Tapi sekarang sudah ada mushala di mal. Meski banyak pemilik mal non-Muslim, mereka menyediakan mushala karena mereka tahu pengunjungnya banyak yang Muslim.

"Sehingga pengunjungnya nyaman di mal, bisa sholat, shoping, makan dan lama di mal," ujar Riyanto.

Ia juga menceritakan, sekitar 1997 yang pakai hijab masih sedikit, kalau ada orang pakai hijab ke toko, pemilik toko bertanya-tanya apakah orang tersebut mampu beli atau tidak. Tapi sekarang hijabnya saja ada yang harganya puluhan juta.

Riyanto menegaskan, jadi untuk mensosialisasikan industri halal harus pakai bahasa bisnis, industri atau pasar, bukan menggunakan bahasa syariah atau agama. Misalnya memasarkan habbatussauda jangan pakai hadist, sebaiknya pakai bahasa pasar dengan mempromosikan manfaatnya yang lebih dari ginseng.

Kalau pemasaran habbatussauda pakai hadist, pembelinya bisa jadi hanya Muslim saja. Tapi kalau yang dipasarkan adalah manfaatnya pembelinya bisa Muslim dan non-Muslim.

"Di Muslim juga ada segmentasi, ada Muslim yang yakin dan taat pada hadist, ada juga yang tidak taat, kita mayoritas Muslim sebanyak 88 persen (penduduk Indonesia) tapi yang pakai bank syariah berapa persen, walau pakai hadist belum tentu bisa menggaet pasar Muslim," jelas Riyanto.

Riyanto juga yakin Indonesia bisa menjadi pusat industri halal di 2024. Asalkan ada target yang jelas, buat program yang jelas, semua pihak terintegrasi dan kolaborasi. Sehingga bisa sinergi untuk mencapai target menjadi pusat industri halal di 2024.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement