IHRAM.CO.ID, Mengawali mukadimah kitab Adab al-Wazir, Al-Mawardi yang kelahiran Basrah 336 H/975 M ini mengutarakan tentang posisi penting seorang wazir (pemimpin) di sebuah negara. Menurutnya, wazir tidak hanya mengatur rakyat, tetapi juga mengurusi raja yang berkuasa. Wazir bisa mengeluarkan kebijakan yang berpengaruh langsung pada pola dan alur kehidupan warga sehari-hari. Apa pun kebijakan yang ia keluarkan, wajib ditatati.
Pada diri seorang wazir berkumpul dua hak sekaligus, yaitu seorang pengatur sekaligus yang diatur. Di sinilah pentingnya dedikasi dan komitmen seorang wazir. Baik buruknya negara terletak di pundak wazir. Profesionalitas dan istikamah pada prinsip-prinsip kebaikan yang bersumber pada agama, mutlak perlu terus dibudayakan.
“Jangan suka berkelit dan mengeluh,” tegas al-Mawardi.
Sebaliknya, wazir dituntut bekerja keras dan terus berusaha. Tumbang usai berupaya maksimal, lebih baik daripada kalah saat ada kemampuan dan peluang terbuka.
“Maksimalkan waktu yang Anda miliki,” tulis al-Mawardi.
Karena itu, dalam pandangan ulama bermazhab Syafi’i ini, dasar dan modal utama seorang wazir ialah senantiasa bertakwa kepada Allah SWT selama mengemban tugas tersebut. Mengurus negara, ada fondasinya, yaitu agama. Sedangkan sistemnya ialah kebenaran dan objektivitas yang abadi dan tak berbias.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah mengatakan bahwa tidak ada ganjaran lebih besar yang diberikan Allah SWT kecuali bagi menteri yang saleh bersama seorang imam yang ia taati. Imam itu menyerunya selalu tunduk kepada Allah.
Manifestasi takwa kepada Allah dari diri seorang wazir, ialah bersikap adil. Adil bagi figur menteri merupakan investasi yang langgeng sedangkan kezaliman adalah kerugian yang datang begitu cepat. Dalam hal ini, seorang menteri dituntut berbuat adil dalam urusan harta, ucapan, dan perbuatan.
Soal harta, jelas al-Mawardi, ialah mengelola keuangan negara sesuai dengan porsi dan anggaran, tanpa mengurangi dan menggelembungkannya. Jangan sekali pun berniat meraup keuntungan pribadi dengan mengorupsi uang negara. Ketika berucap, menteri harus proporsional dan tidak tebang pilih. Tidak menjilat kepada penguasa ataupun meremehkan kalangan bawah. Tidak pula berbicara manis kepada pemegang status sosial tinggi, namun mencibir masyarakat biasa.
Adil dalam bersikap, menurut al-Mawardi, hendaknya wazir tidak menjatuhkan hukuman kecuali atas dasar kesalahan yang dilakukan seseorang, dan hanya memberikan remisi atau ampunan bagi mereka yang bertobat. Kebencian kepada siapa pun sepatutnya tak menghapus rekam jejak kebaikan. Begitu pula sebaliknya, kecintaan, dan penghormatan pada sosok tertentu, tak membuat mata tertutup pada kejahatannya.
Diceritakan, Nabi Sulaiman as pernah berkata, “Aku memberikan sesama apa yang mereka berikan atau belum memberinya, dan aku mengetahui apa yang mereka ketahui dan belum. Dan, aku tidak memberi apa pun yang lebih utama kecuali objektivitas, baik saat senang ataupun kala murka.” Al-Mawardi pun kembali menekankan, “Balasan kepada seseorang hanya berdasar baik atau buruknya.”