IHRAM.CO.ID, Kitab al-Tabikh karya Muhammad al-Muzaffar ibn Sayyar seakan membuyarkan bayangan orang saat ini mengenai kehidupan orang-orang Arab di masa itu. Dalam cerita sejarah awal Islam, kita selalu disuguhi menu-menu masakan yang itu-itu saja di wilayah padang pasir yang berkutat dari kurma, roti gandum, minyak samin, susu, dan daging. Ketika orang Arab menaklukkan Persia, mereka pertama kali berkenalan dengan menu masakan yang beraneka rupa, salah satunya perkenalan pertama dengan beras.
Mulai saat itulah masyarakat Islam awal mulai mengadopsi cara orang Persia menikmati masakan yang lebih berwarna dibanding era padang pasir. Memang Dinasti Sasanid di Persia sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam telah sejak lama mengenal ilmu tata boga. Pada abad ke-6 M, diterbitkan kitab mengenai kisah Raja Kisra yang isinya banyak menyinggung mengenai makanan.
Isi resep-resep masakan yang ada di Kitab al-Tabikh memang banyak yang dipengaruhi oleh kuliner Persia, namun masakan jenis itu tak lagi ditemukan di Iran modern kini. Ada beberapa masakan yang diambil dari nama Persia, seperti sikbaj (dibumbui dengan cuka) dan narbaj (ditaburi jus delima).
Di lain pihak, tak ditemukan pula bandingan atau turunannya pada kuliner Arab modern. Tidak disebutkan mengenai hummus, tabuli, atau baklava. Banyak masakan diberi nama anehaneh seperti bazmawurd, kardanaj, isfidhabaj, dan dikbarika. Masakan yang diberi nama Arab kemung kin an memang dikembangkan di Baghdad dengan penamaan menurut bahan makanan seperti ‘adasiyyah (mijumiju dengan daging) dan shaljamiyyah (lobak).
Kemudian nama masakan yang diambil dari nama penguasa seperti Haruniyah yang dibumbui dengan sumac (bumbu favorit Harun al- Rashid) yang banyak dipakai dalam berbagai resep di Kitab al-Tabikh. Memang, buku itu adalah resep masakan dari Persia abad keenam sampai tujuh yang dicampur dengan kuliner baru yang ditemukan oleh para chef di Baghdad.