IHRAM.CO.ID, Dahaga akan siraman rohani selalu dialami setiap manusia. Proses pencarian dan upaya memperbaiki diri melalui olah batin biasa ditempuh setiap insan oleh lintas gerenasi. Kebutuhan itu muncul sebagai sebuah reaksi atas fenomena kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kesadaran itu juga didorong oleh kepekaan hati nurani serta moralitas atas berbagai problematika keprofanan yang muncul pada sebuah komunitas. Ketajaman nurani itu pulalah yang mendorong Abu Abdullah al-Harits bin Asad bin Ma’qil al-Hamdani al-Muhasibi (243 H) hidup di penghujung kekuasaan Dinasti Abbasiyah melakukan analisis dan penilaian kritis terhadap penyimpangan yang terjadi di masanya.
Kerusakan moral yang terjadi kala itu dipandang cukup akut. Tidak hanya melanda kalangan awam, tetapi juga mewabah di level para ulama dan cendekiawan. Al-Muhasibi lewat beberapa catatannya memberikan pelajaran penting tentang cara menyikapi problematika keumatan.
Al-Muhasibi menuangkan analisis dan penilaian kritisnya itu dalam sebuah kitab bertajuk al-Washaya. Awalnya, al-Muhasibi tidak langsung memberikan tajuk besar bagi kitabnya itu. Ia memang sering tak memberi judul kitab-kitab yang ditulisnya. Sepanjang hidupnya, ia menulis lebih dari 200 risalah dan sebagiannya tak diberi judul.
Dari beberapa kitab itu, ada yang masih berupa manuskrip. Karya al-Muhasibi yang masih berbentuk manuskrip antara lain Adab an-Nufus, Ahkam at-Taubah, dan Risalah at-Tasawwuf. Dari sebagian karya yang berbentuk manuskrip itu ada yang telah musnah, antara lain kitab Akhlaq al-Hakim, At-Tafakur wa al-I’tibar, dan Ad-Dima’.
Kitab al-Washaya pada dasarnya merupakan kumpulan dari beberapa kitab yang ditulis al-Muhasibi. Beberapa di antaranya telah berhasil ditahkik dan telah diterbitkan, antara lain Bud’u man Anaba Ilallah, sebuah kitab yang dipublikasikan oleh seorang orientalis asal Jerman, Halmout Reiter.
Kitab lainnya adalah at-Tawahhum yang diterbitkan oleh orientalis asal Inggris pada 1937. Gagasan hasil kontemplasinya itu mencakup penempaan diri dan olah spiritual secara mendasar. Di dalamnya menjelaskana konsep takwa, taubat, takut (khauf), kontrol muraqabah, zuhud, dan sikap malu atau haya’.
Al-Washaya juga memuat kitab tentang tata cara shalat (fahm as-shalat). Selain itu, dalam kitab at-Tawahhum, al-Muhasibi secara spesifik menyampaikan nasihat-nasihat, khususnya menyinggung ihwal kondisi di alam barzah dan akhirat kelak. Antara lain, tentang sakitnya kematian, kondisi kiamat yang mengerikan, siksa bagi orang kafir, serta syafaat dan balasan surga bagi hamba-Nya.
Kumpulan beberapa kitab karya al-Muhasibi itu oleh seorang muhakik diberi judul al-Washaya, lantaran kitab itu tak hanya memuat rentetan khutbah atau nasihat kering yang acap kali disampaikan oleh para ulama semasanya. Lebih dari itu, al-Washaya dan bahkan hampir keseluruhan kitab karya al-Muhasibi ditulis sebagai hasil kontemplasi dan pengalaman tajribah atau olah spiritual yang mendalam.
Ketajaman penanya tak cuma menyentuh sisi penempaan jiwa, tetapi juga kental bahasan syariat melalui perspektif ilmu fikih. Hampir tiap kitab yang pernah ditulisnya merupakan dokumentasi hasil percakapannya dengan beberapa tokoh. Ada yang berupa jawaban atas pertanyaan, adapula analisis pribadi untuk menjawab suatu permasalahan. Sisi inilah yang menjadikan al-Washaya unggul dibandingkan dengan karya yang pernah ada serta yang ditulis di masa berikutnya.