Senin 28 Nov 2022 17:30 WIB

Umar bin Abdul Aziz: Umara yang Ulama

Pendalamannya terhadap agama, menjadikannya pemimpin yang adil dan bijaksana.

Masjid Agung Umayyah
Foto:

Kiyai Firdaus AN dalam bukunya, Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, menceritakan, di masa Umar bin Abdul Aziz, terjadi fitnah adanya ‘saling mencaci’ antara pengikut Sayidina Ali dan Bani Umayah. Pencacian itu kadang-kadang dilakukan di mimbar-mimbar. Umar bersedih karena ia mengetahui kehebatan dan kealiman Sayidina Ali. Maka kemudian, ia memerintahkan kepada rakyatnya untuk menghentikan pengutukan terhadap Sayidina Ali dan menyuruh para khatib untuk menggantinya dengan membaca surah an-Nahl ayat 90 dan atau surah al-Hasyr ayat 10.

“Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90).

“Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10).

Untuk menjaga keadilan dan kelancaran administrasi negara maka Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur dan pejabat-pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun familinya. Umar menulis surat berikut, “Kami berpendapat bahwa seorang imam (pemimpin negara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasaannya. Karena, seorang amir bila ia berdagang ia akan mudah melakukan monopoli dan membenarkan perbuatan yang merusak negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat demikian.” 

Untuk itu, agar para pejabatnya tidak berbisnis dan tidak menyelewengkan uang negara maka Umar memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para pejabatnya. Karena, begitu makmurnya negara saat itu, hingga gaji para pejabat itu sampai ada yang berjumlah tiga ratus dinar.

Memang, kemakmuran dan keadilan mewarnai negara pada saat itu. Yahya Ibnu Said berkata, “Umar bin Abdul Aziz telah mengutus aku ke Afrika Utara untuk membagi-bagikan zakat penduduk di sana. Maka, aku laksanakanlah perintah itu. Lalu, aku cari orang-orang fakir untuk kuberikan zakat itu pada mereka. Tetapi, kami tidak mendapatkan seorang pun juga dan kami tidak menemukan orang-orang yang menerimanya. Umar betul-betul telah menjadikan rakyatnya kaya. Akhirnya, kubeli dengan zakat itu beberapa orang hamba sahaya yang kemudian kumerdekakan.”

Meski rakyatnya kaya, Umar hidup sederhana. Kezuhudannya terkenal di seluruh penjuru wilayahnya. Ia memberi anak-anaknya pakaian dan makanan yang sederhana. Sering anak-anak perempuannya disuguhi dengan makanan kacang dan bawang merah, sambil dia menangis, dan berkata, “Apa gunanya wahai anak-anakku. Kalian hidup dengan mengecap bermacam-macam makanan yang lezat, tetapi yang mempersiapkan itu karenanya pergi masuk neraka.”

Umar memang umara yang sekaligus ulama. Pendalamannya yang mendalam terhadap agama, menjadikannya pemimpin yang adil, bijaksana, dan menjadikan Islam bersinar terang karena pemimpin dan masyarakat menerapkannya bersama. Ia bukan pemimpin yang zalim yang menyebabkan agama menjadi rusak. Dalam Mukhtarul Haditsun Nabawiyyah, Sayyid Ahmad Hasyimi mengutip hadis Rasulullah SAW, “Pernyakit agama ada tiga: orang yang faqih tapi fajir (suka berbuat dosa besar), imam yang jair (suka berbuat zalim), dan mujtahid yang jahil (bodoh).” HR Ad Dailami dari Ibnu Abbas.

Karena itu, kakek Umar bin Khattab pernah memberi nasihat kepada rakyatnya. “Perdalamlah ilmu agama, sebelum kamu menjadi pemimpin.” (tafaqqahu qabla an tusawwadu). Dan, Umar bin Abdul Aziz pernah memberi kepada gubernur-gubernurnya: “Adapun kemudian daripada itu, Allah Azza Wajalla telah memuliakan pemeluk-pemeluknya dengan agama Islam, menjunjung tinggi mereka serta menghormatinya. Sebaliknya mengecilkan dan merendahkan martabat orang-orang yang menentang mereka itu. Dan, Allah telah menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk kepentingan umat manusia. Dari itu janganlah sekali-kali kalian menyerahkan kepemimpinan mereka kepada orang-orang dzimmi. Karena nanti mereka membelenggu tangan dan mengunci lisan orang Islam, yang dengan begitu kalian berarti merendahkan mereka setelah Allah memuliakan mereka dan menghinakan mereka setelah Allah meninggikan martabat mereka …”

Khalifah yang mulia ini lahir pada 63H (682M) dan hanya memerintah selama dua setengah tahun saja (717-720M). Ia meninggal pada usia 38 tahun karena diracun oleh sekawanan orang yang dendam dengannya. Pembunuhnya berhasil ditangkap dan mengaku mendapat bayaran seribu dinar. Uang itu akhirnya dimintanya dan dimasukkan ke Baitul Mal.

sumber : Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement