IHRAM.CO.ID, Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan sistem perposan dunia ISlam sudah sangat mutakhir. Sistem perposan dikelola secara terpusat dan berhubungan langsung dengan khalifah, imbuh Silverstein. Ketika rezim penguasa dunia Islam mulai berganti di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, pada tahap awal jasa perposan tak mengalami perubahan secara sistem. Saat itu, hanya terjadi perubahan penguasa yang mengelola departemen pos.
Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Al- Mas’udi, menyatakan bahwa barid untuk pertama kali melayani pengantaran surat pada zaman kekuasaan Abbasiyah. Sejarah mencatat, pengelolaan sistem perposan yang efektif dan efisien juga dilakukan di era kekuasaan Dinasti Seljuk pada abad ke-9 M.
Seljuk merupakan dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah. Wilayah kekuasaan Kekaisaran Seljuk Agung terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Dinasti ini didirikan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah.
Menurut sejarawan Paul Lunde dalam tulisannya berjudul, The Appointed Rounds, pengelolaan sistem perposan pada era Dinasti Seljuk mendapat perhatian penuh dari Perdana Menteri Kesultanan Seljuk Turki, Nizam Al-Mulk. Jasa perposan dikembangkan penguasa Dinasti Seljuk agar dapat memperoleh informasi yang cepat dan akurat. Adalah tugas seorang raja untuk mengetahui secara benar kondisi para petani dan tentaranya, baik jauh maupun dekat.
Seorang raja harus mengetahui informasi mengenai hal itu sebanyak-banyaknya, tutur Lunde, mengutip pernyataan Nizam Al-Mulk. Untuk menguasai informasi itulah, Al- Mulk mengangkat pejabat yang khusus mengurusi bidang perposan. Pada masa itu, Dinasti Seljuk sudah memiliki seorang Diwan Al-Barid, Menteri Pos dan Komunikasi.
Bagi pemerintahan Al-Mulk, layanan perposan merupakan lembaga negara yang penting. Departemen Pos dan Telekomunikasi dijadikannya sebagai sebuahagen informasi. Melalui layanan pos, seorang perdana menteri bisa berkomunikasi dengan gubernur di berbagai provinsi yang terbentang begitu luas.
Pejabat inspektur pos pada masa itu tak hanya memastikan surat- surat yang dikirim sampai di setiap kantor pos, cetus Lunde. Namun, imbuh dia, para inspektur pos juga bertugas untuk mengumpulkan informasi bagi pemerintah pusat. Secara periodik mereka harus menyampaikan laporannya. Menurut Lunde, laporan yang harus disampaikan inspektur pos itu berkisar pada kondisi dan hasil panen para petani di daerah, situasi politik, serta kinerja para gubernur di provinsi. Pengelolaan barid di era Seljuk sebenarnya sangat mirip dengan Pony Express di Amerika Barat, tegas Lunde.
Namun, di era kekuasaan Seljuk, unta dan kedelai menjadi alat transportasi. Sedangkan di Amerika Barat menggunakan kuda. Lunde mengungkapkan, di setiap empat hingga enam mil sebuah wilayah terdapat kantor pos. Untuk menghindari kelelahan, petugas penyampai pesan akan diganti di kantor pos berikutnya.
Pemerintah Seljuk menggaji ribuan pegawai pos. Saat itu, yang boleh mengirim pesan hanya pemerintah. Warga negara biasa yang ingin mengirimkan pesan harus menitipkannya pada rombongan pedagang atau menyewa kurir khusus untuk hal-hal mendesak. Pada masa itu, surat baru akan sampai dalam waktu beberapa hari ke tujuan.
Jika seseorang mengirim surat dari Kairo dengan tujuan Damaskus, akan sampai dalam empat hari. Berbeda dengan Pony Express yang hanya dapat bertahan selama 16 bulan, dari tahun 1860 M hingga Oktober 1861 M. Sistem perposan Islam alias barid mampu bertahan hingga beberapa abad. Bahkan, mampu menjangkau hingga ke India. Penjelajah Muslim dari Maroko, Ibnu Batutta, dalam catatan perjalanannya mengungkapkan aktivitas layanan pos di Sind, India, tahun 1333 M. Begitulah layanan pos di dunia Islam berlangsung.