IHRAM.CO.ID, PRANCIS -- Persatuan Masjid di Prancis menggugat novelis kontroversial negara tersebut, Michel Houellebecq. Gugatan diajukan atas diskriminasi, ujaran kebencian, serta menghasut kekerasan dalam obrolannya kepada seorang pewawancara.
Houellebecq merupakan seorang penulis yang buku-bukunya terjual dalam jumlah besar. Salah satu karya novel internasionalnya 2015 berjudul Submission, bercerita tentang seorang Muslim yang memenangkan kursi kepresidenan, memanfaatkan ketakutan sayap kanan atas kebangkitan Islam. Kepada jurnalis dari Front Populaire, ia dituduh mengatakan Muslim di Prancis harus berhenti mencuri dan bersikap agresif terhadap orang etnis Prancis.
Bagian-bagian itu diduga menunjukkan kemungkinan adanya kekerasan terhadap Muslim Prancis, yang dia juluki "membalikkan Bataclans". Hal ini merujuk pada serangan 2015 di gedung konser Bataclan oleh jihadis kelahiran Prancis dan Belgia, yang memiliki hubungan dengan kelompok ISIS.
Dilansir di New Arab, Senin (16/1/2023), Houellebecq mengatakan bagian kontroversial ini akan diedit dari hasil wawancara daring, sekaligus dalam buku yang akan datang di mana komentar ini akan ditampilkan. Dalam sebuah pernyataan, Presiden Serikat Masjid Prancis Mohammed Moussaoui menyebut usulannya untuk menggantikan pernyataan itu dalam buku yang akan datang tidak mengakhiri penyebarannya dan tidak melindungi umat Islam dari konsekuensinya.
Pengacara Najwa El Haite menyebut, kontributor sekaligus pewawancara dari Front Populaire Stephane Simon, serta filsuf Michel Onfray juga disebutkan dalam gugatan itu. Menteri Kehakiman Prancis Eric Dupond-Moretti mengkritik pernyataan penulis kontroversial Prancis, Michel Houellebecq.
"Mengatakan mereka (Muslim) adalah perampok, ini memicu kebencian dan bertentangan dengan semua nilai saya," ujar Dupond-Moretti , dilansir dari Yeni Safak, Selasa (10/1/2023).
Menteri Kehakiman Prancis juga menyesalkan pernyataan seperti itu. "Lima belas tahun yang lalu, kami akan berada di garis depan untuk mencela mereka. Kami sudah terbiasa dengan ini. Inilah yang (filsuf) Hannah Arendt sebut banalitas kejahatan," ujarnya.