IHRAM.CO.ID, DAMASKUS -- Rezim Suriah dilaporkan telah memutuskan mengizinkan impor barang-barang dari Arab Saudi setelah penangguhan perdagangan selama 10 tahun. Pangamat menyebut kebijakan ini dilakukan karena Suriah sedang berupaya memulihkan hubungan dengan Arab Saudi.
Dilansir dari The New Arab, Jumat (20/1/2023), Kementerian Luar Negeri Suriah setuju mengizinkan impor bahan yang diproduksi di Arab Saudi terutama gula dan petrokimia, menurut laporam situs berita Arabi 21. Sebuah dokumen yang diterbitkan oleh halaman resmi rezim menunjukkan impor 10 ribu ton gula telah disetujui.
Keputusan rezim Suriah datang di tengah spekulasi Arab Saudi bergerak untuk membangun kembali hubungan dengan Suriah setelah istirahat lebih dari 10 tahun. Namun, pakar ekonomi Iyad al-Jaafari mengatakan keputusan itu sepenuhnya bersifat ekonomi.
“Terlepas dari kemampuan pedagang Suriah untuk menemukan sumber alternatif untuk bahan yang diizinkan untuk diimpor dari Arab Saudi, tujuan dari keputusan tersebut adalah untuk mendorong Riyadh mengurangi pembatasan truk yang membawa barang-barang Suriah, yang diangkut ke negara-negara di Teluk," katanya kepada situs berita Arab.
Menurut al-Jaafari, keputusan kerajaan Teluk itu untuk memberlakukan pembatasan impor barang-barang Suriah dipicu oleh alasan terkait penyelundupan narkoba, khususnya captagon. Stimulan jenis amfetamin yang dilarang itu telah diselundupkan dari Suriah ke Teluk dalam jumlah besar dalam beberapa tahun terakhir dan rezim Suriah secara luas diyakini terlibat langsung dalam perdagangan captagon.
Ekonom mengatakan keputusan rezim untuk mengimpor barang-barang Saudi bertujuan melunakkan posisi Saudi pada ekspor Suriah. Peneliti ekonomi Younes al-Karim, bagaimanapun, menekankan dimensi politik perdagangan antara Suriah dan Arab Saudi.
Dia mengatakan rezim dapat menggunakan perdagangan dengan Arab Saudi untuk meningkatkan reputasinya di antara negara-negara Arab. Sesuatu yang diyakini dapat membuka jalan pemulihan hubungan dengan negara-negara Arab yang memutuskan hubungan diplomatik dengan rezim Assad menyusul penindasan brutal terhadap protes pro-demokrasi dan pengeboman wilayah sipil pada 2011-2012.
Lebih dari 500 ribu orang telah terbunuh sejak konflik Suriah dimulai dan jutaan warga lainnya mengungsi karena warga sipil terus menderita akibat tirani dan korupsi rezim, serta kondisi ekonomi yang mengerikan dan kekurangan barang-barang kebutuhan pokok. Setidaknya 80 persen penduduk negara itu hidup dalam kemiskinan.
Meskipun ada potensi pemulihan perdagangan, Arab Saudi sejauh ini menentang kembalinya rezim Suriah ke Liga Arab, mempertahankan posisi ini pada pertemuan para pemimpin Arab di Kairo tahun lalu.