IHRAM.CO.ID,JAKARTA — Haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dijalankan bagi umat Muslim yang mampu. Kemudahan untuk pergi ke tanah suci saat ini, membuat sebagian orang yang mampu itu, ingin mengulanginya lagi dan lagi.
Namun bila melihat panjangnya daftar tunggu haji di Indonesia, melihat saudara-saudara muslim harus mengantri bertahun-tahun lamanya untuk bisa berangkat ke tanah suci, lalu bagaimana hukum haji berulang kali ini?
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Anwar Abbas mengingatkan, bahwa sejak Pemerintahan Presiden Soeharto, sudah dianjurkan agar memberikan kesempatan kepada saudara Muslim yang lain yang belum pernah melakukan haji wajib itu.
“Mengingat antrean haji semakin panjang, sampai puluhan tahun, sejak belasan tahun lalu masyarakat indonesia dianjurkan 'hanya' melaksanakan haji sekali saja seumur hidup. Bahkan pemerintah pun dari zaman Pak Soeharto menganjurkan demikian untuk memberi kesempatan warga lainnya untuk berangkat haji,” kata Buya Anwar kepada Republika, Rabu (25/1/2023).
Buya menerangkan, kewajiban bagi seorang muslim dan muslimah yang mampu untuk melakukan ibadah hanya satu kali seumur hidup. Lalu bagaimana hukumnya kalau yang bersangkutan mau naik haji kali kedua dan ketiga, serta setiap tahun setelah dia menunaikan kewajibannya yang pertama tersebut.
“Ya hukumnya boleh atau sunat. Artinya jika dia kerjakan dia mendapatkan pahala dan jika tidak dia lakukan maka dia tidak berdosa. Cuma timbul pertanyaan, bagaimana hukumnya kalau hal itu dilakukan sekarang di saat antrian untuk melakukan ibadah haji tersebut sudah sangat panjang?” ujar Buya.
Antrean haji di Indonesia ini, kata dia, bahkan ada yang harus menunggu 20 tahun untuk bisa berangkat haji. Sedangkan dari saudara -saudara Muslim yang antre menunggu ini, adalah mereka yang baru pertama kali akan berangkat haji.
Bila dalam kondisi yang seperti ini, menurut Buya, ketika berbenturan antara yang sunnah dan yang wajib, maka yang harus diutamakan oleh pemerintah adalah mendahulukan yang wajib itu.
“Bila demikian halnya maka qoidah yang harus dipakai oleh pemerintah dalam menghadapi kasus tersebut, yaitu qoidah yang mengatakan bila ada benturan antara yang sunat dengan yang wajib maka yang didahukukan oleh pemerintah adalah yang wajib. Oleh karena itu, jika pemerintah akan memberangkatkan jamaah haji maka yang harus didahulukan adalah orang yang belum pernah mengerjakan ibadah haji dari orang yang sudah pernah mengerjakannya,” terang Buya.
Hal ini diperkuat oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jadi pemerintah harus hadir menengahi perbenturan yang ada, agar tercipta ketenangan dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat terutama di kalangan umat islam. Caranya yaitu dengan mendahulukan orang yang belum pernah melaksanakan ibadah haji dari yang sudah pernah melakukannya.