REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum. wr.wb
Ustaz, bisa dijelaskan tentang miqat saat berhaji?
Riki di Tangerang
Wassalamualaikum wr.wb.
Sering kali, dalam pelaksanaan ibadah haji kita mendengar istilah miqat (batas). Sebenarnya, miqat ini ada dua jenis, makany (tempat) dan zamany (waktu).
Miqat zamany tidak terlalu populer di kalangan jamaah haji, sebab miqat zamany ini adalah musim haji yang terdiri atas tiga bulan, mulai dari Syawal hingga Dzulhijah. Adapun yang akrab ditelinga jamaah tentang miqat adalah miqat makany (batas tempat untuk berihram).
Siapa orang yang melintasi miqat yang telah ditentukan maka wajib baginya untuk berihram (memakai pakaian dan berniat ihram).
Melintasi miqat dengan berihram adalah sebuah kewajiban. Siapa yang melintasinya tanpa berihram maka wajib baginya untuk membayar dam (denda satu ekor kambing).
Hal ini berlaku tanpa terkecuali bagi setiap jamaah haji dan umrah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Begitu mereka melintasi miqat-miqat yang telah ditentukan maka mereka haruslah berihram. Lalu, manakah miqat yang biasa digunakan jamaah haji Indonesia?
Jamaah haji Indonesia yang terlebih dahulu ke Madinah sebelum haji. Maka, miqat mereka adalah Dzul Hulaifah atau Bir Ali.
Sementara, jamaah haji yang datang langsung ke Makkah, miqat mereka adalah Yalamlam dan mereka dapat mengetahui miqat ini lewat informasi yang disampaikan oleh petugas dan kru pesawat yang ditumpangi.
Mengenai batas miqat-miqat ini, Ibnu Abbas Ra meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW yang berbunyi, “Rasulullah SAW telah menetapkan tempat miqat untuk penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah. Al Juhfah untuk penduduk Syam. Qarnul Manazil untuk penduduk Najd. Yalamlam untuk penduduk Yaman. Usai itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Miqat-miqat itu diwajibkan bagi para penduduk masing-masing daerah dan bagi orang yang datang melewati daerah itu dan berniat melakukan ibadah haji maupun umrah. Adapun mereka yang tinggal setelah batas miqat di atas maka miqatnya adalah rumahnya sendiri. Bahkan, penduduk Mekkah dipersilakan mengambil miqat dari rumah mereka sendiri.’” Hadis Muttafaq Alaihi.
Lalu, bagaimana hukumnya bila ada seseorang yang melintasi miqat tapi ia tidak berihram? Dalam kondisi ini, ada dua hal yang bisa ia lakukan. Pertama, ia kembali lagi ke miqat, bila memungkinkan untuknya, dan berihram dari sana.
Kedua, bila tak mungkin kembali ke miqat karena khawatir tertinggal rombongan, maka ia diperkenankan berihram dari tempat ia berada, tapi ia diwajibkan membayar dam sebesar satu ekor kambing.
Permasalahan seputar miqat ini mungkin juga dialami jamaah haji yang menempuh jalur laut dan udara. Maka, bagi mereka kewajiban berihram harus tetap dilakukan saat melewati miqat, sama halnya seperti mereka yang menempuh jalur darat.
Tidak ada halangan bagi mereka yang menempuh jalur udara dan laut untuk berihram di atas kendaraan yang mereka tumpangi. Wallahu A'lam.
Ustaz Bobby Herwibowo