Ahad 31 Aug 2014 13:54 WIB

Merindu Makkah

M Subarkah
Foto: Dokpri
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, wartawan senior Harian Republika dan pengamat haji

 

Bulan perbani tampak kisut di langit yang membentang di atas perbukitan dan lembah selatan perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Suasana menjadi dingin karena rintik hujan beringsut. Sinar lampu mobil bersliweran di tengah kepadatan arus balik Idul Fitri.

Namun, di tengah suasana hiruk-pikuk setelah menadah ke atas langit dan menatap bulan sabit yang  melayang-layang di tutupi awan, ingatan langsung berkelebat ke pinggiran kota Makkah, tepatnya kawasan Aziziyah. Di sana tiga tahun silam, menjelang musim haji, kami para petugas haji sebagian terdampar di sebuah bangunan berlantai empat yang menjadi Kantor Haji Indonesia Daerah Kerja Makkah.

Tengkuk rasa bergidik ketika sekali lagi melihat wajah bulan itu. Pikiran meyakinkan bahwa muka bulan itulah yang biasa dilihat ketika dahulu menjadi petugas haji di sana. Dan muka bulan itulah yang ketika purnama tiba selalu lekat dipandangi sembari tawaf maupun tiduran di 'mataf' (pelataran Ka'bah). Hati terasa terkoyak dan di sini pun kemudian bisa mengerti mengapa banyak sekali orang ingin haji dan umrah berkali-kali. Meski pergi ke Makkah untuk berhaji menguras tenaga dan biaya, tetapi  membuat hati tetap kangen. Pergi haji ke Makkah sangat berbeda dengan jalan-jalan wisata ke Pataya di Thailand, melihat Menara Petronas di Kuala Lumpur, belanja di Singapura, nongkrong di Kuta Bali, nonton Disney Land di Hong Kong, atau mendaki tangga tembok Cina.

Banyak orang yang belum berhaji bertanya seperti apa suasana haji itu? Bagaimana misalnya suasana sewaktu wukuf di Arafah atau tinggal dan bermalam dalam tenda di Mina? Jawabnya tentu saja bisa saja mengejutkan. Kalau misalnya mengunjungi Istanbul Turki di sana memang akan mendapatkan pemandangan indah dan bisa mendapati sajian musik serta tarian sufi ala Jalaluddin Rumi. Namun, di Makkah pada musim haji suasana ini pasti tak akan bisa didapatkan. Yang tampak hanyalah lautan manusia bersliweran dengan mengenakan baju ihram yang putih.

Dan juga bila ingin tahu suasana wukuf dan bermalam di Mina untuk melempar jumrah. Di sana tak ada suara musik atau apa. Suara talbiyah akan ramai terdengar dari dalam tenda-tenda. Tapi yang pasti, suara paling dominan adalah suara raungan sirine mobil ambulans. Tak tanggung-tanggung suara itu terdengar selama 24 jam penuh atau tanpa jeda. Di situ terbayang bahwa kematian begitu dekat layaknya orang antri menunggu giliran menonton pertunjukan.''Maut begitu dekat. Tiba-tiba saja ada orang meninggal dengan begitu saja,'' ucap penyair terkemuka Indonesia, Sutardji C Bachri, ketika menceritakan kenangannya ketika dahuu pergi berhaji.

Makkah pun sebenarnya bukan kota yang indah. Beda dengan Madinah yang hijau atau Beirut yang subur, kota ini gersang. Letaknya di pegunungan batu. Dari semenjak dahulu orang Arab menyebutnya sebagai sebuah kota padang pasir yang ada di pedalaman yang menjadi tempat persinggahan para pedagang. Kota ini di masa lalu berada dalam  jalur perdagangan antara Yaman-Makkah-Madinah-Damsyiq (Damaskus).

Kesan kota gersang dan berada di perbukitan masih terasa setidaknya hingga awal tahun 2000-an saat belum banyak terowongan di bangun. Masjidil Haram letaknya di antara ceruk perbukitan batu itu. Mendiang Presiden Sukarno dulu menyebut Makkah layaknya kota di dalam mangkok. Kab'ah ada di tengah mangkok itu sedangkan dinding mangkoknya adalah perbukitan batu. Kondisi dalam 'mangkok batu' inilah yang membuat Makkah rentan terhadap banjir.

Nah, bila pada tahun ini berkesempatan mendatangi Makkah, maka pasti akan melihat kota ini sebagai tempat megah yang terus-menerus berbenah. Jalanan bebas hambatan, terowongan, dan gedung tinggi akan segera menyambut  begitu tiba di perbatasan kota. Sebelum masuk kota dari jarak sekitar 10 kilometer akan terlihat menara Masjidil Haram. Di malam hari menara ini akan tampak bersinar kebiruan dan akan berkedip-kedip ketika adzan berkumandang.

Mengingat kenangan itu semua, maka ketika laju mobil berubah tersendat saat mulai mendaki ruas jalan Nagrek, kebosan serta keletihan menjadi sedikit berkurang. Hujan rintik yang mengguyur malam itu kembali mengenangkan 'hujan es' ketika dulu hendak masuk ke Makkah. Sama dengan dulu ketika kami membuka jendela mobil saat hujan es datang, maka kemarin pun jendela mobil pun kami buka lebar-lebar. Namun bedanya, bila dulu kami berteriak kegirangan menyambut 'hujan es', kini ketika di perbukitan Garut kami berteriak kedinginan atas hujan yang turun.

Akhirnya, setelah hujan reda serta kemudian muka bulan yang masih seperti sabit itu kembali terlihat, maka mulut ini pun mengucap: ''Bulan salamkan kami pada Ka'bah dan perbukitan Makkah. Aku merindukanmu...!''

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement