Oleh: Heri Purwata
Ibadah haji untuk Prof Edy Suandi Hamid merupakan panggilan khusus dari Allah SWT. Pengalaman haji Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) ini tergolong unik. Saat kondisi ekonomi sedang baik, niat untuk berhaji belum tebersit.
Hanya, ketika kantong sedang pas-pasan, justru keinginan untuk berhaji malah muncul dan kuat sekali.
"Saya agak terlambat menunaikan ibadah haji. Saat ekonomi memadai, terkendala berbagai kesibukan, membuat kewajiban haji tertunda, dan baru terlaksana pada awal 2001," kata Edy.
Saat menunaikan ibadah haji, Edy berusia 44 tahun. Padahal, kawan-kawannya yang lebih muda, sudah berhaji lebih dulu. Namun saat keuangan sedang pas-pasan, dia merasa terpanggil untuk menunaikan ibadah haji. Dia bahkan berencana menjual lahan untuk melunasi ongkos naik haji (ONH).
Edy ketika itu masih melanjutkan studi S-3 di UGM. Gajinya pun terserap untuk membiayai kuliah. "Tapi, panggilan untuk berhaji luar biasa kuat, sampai-sampai dalam suatu forum pengajian saya ikrarkan niat itu. Padahal, dana tak memadai. Bayangan saya, untuk biaya haji tersebut saya akan menjual lahan yang saya miliki," kata Edy.
Ternyata, lanjut Edy, dengan niat kuat tersebut ada sumber rezeki mengalir. Akhirnya, mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) ini bisa bersama istri berhaji plus selama 21 hari dengan cukup lancar.
Edy berkisah, ada dua pengalaman haji yang menarik ketika berada di Tanah Suci. Pertama, saat melempar jumrah pada hari pertama. Suasana sangat berdesak-desakan. Saat itu, ada beberapa jamaah dari Indonesia dan negara lain wafat karena harus berebut tempat melempar.
Di tengah kepanikan, istri Edy terlepas dari pegangan tangannya. Suasana waktu itu sangat tidak terkendali. Hanya dalam hitungan menit, istrinya menghilang. "Sangat kacau. Saya langsung panik. Pikiran berkecamuk. Saya tak bisa mengendalikan air mata saya karena membayangkan hal terburuk terjadi pada istri saya," kata Edy.
Dalam suasana berkecamuk, Edy berusaha keluar dari kerumunan. Masih dalam suasana bingung, Edy melihat istrinya bersama rombongan hajinya. "Saya lanngsung memeluk istri saya dengan berlinang air mata. Alhamdulillah, selanjutnya semua lancar," katanya.
Pengalaman kedua juga terjadi ketika melempar jumrah. Suasana di Mina, sebetulnya tidak terlalu ramai, tapi tetap berdesak-desakan. Usai melempar jumrah Edy kembali ke tenda yang hanya berjarak kira-kira satu kilometer.
Sesampainya di tenda, ternyata dompetnya sudah tidak ada lagi di saku. Dia kemudian mencoba kembali ke lokasi, kalau-kalau ada orang lain yang menemukan. Edy pun bertanya pada petugas yang menyimpan barang-barang temuan. Tapi, dompet berisi kartu pengenal dan uang bernilai Rp 3 juta tersebut tidak ditemukan.
Menghadapi cobaan ini, Edy mengaku, tak ada rasa menyesal yang mendalam. "Saya sangat ikhlas waktu itu dan menganggap itu bukan hak saya. Padahal, nilainya cukup berarti bagi seorang yang saat itu berstatus 'mahasiswa'. Perasaan saya enteng-enteng saja dan berharap bermanfaat bagi yang menemukannya," ujarnya.
Kemudian, untuk mencukupi kebutuhan setelah kehilangan dompet, istrinya masih menyimpan uang. Kebutuhan Edy dan istri selama menunggu pemulangan masih terpenuhi. Saat berhaji pada 2001 Edy sedang menulis desertasi. "Tadinya tersendat, tetapi setelah haji alhamdulillah, semua lancar dan cepat selesai," ujar Edy.