Oleh: Heri Ruslan
Pergi ke Tanah Suci memberi kesan mendalam. Setiap rangkaian ibadah haji memiliki kekayaan hikmah yang dapat dipetik. Pengalaman manis di Baitullah menjadi kisah tak terlupakan pengusaha nasional Sandiaga Salahuddin Uno.
Sandi, begitu sapaan akrabnya, menunaikan rukun Islam kelima pada 1998. Dia berhaji sambil menemani ibundanya Mien R Uno.
Kerinduan kepada Tanah Haram kembali membuncah. Tiga tahun berikutnya, dia menunaikan rukun Islam kelima itu bersama Rosan P Roeslani, pengusaha yang menjadi mitra kerjanya di Recapital.
“Bagi saya, menunaikan ibadah haji sungguh merupakan tonggak sejarah. Ternyata, banyak sekali pengalaman spiritual yang dirasakan," ujar Sandi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ada banyak pengalaman menarik yang diperoleh Sandi. Salah satunya, saat dia disemprot dengan bahasa Arab oleh seorang kakek. "Ini seolah jadi peringatan, apakah saya sudah memperlakukan saudara sebaik mungkin di Tanah Air?”
Pernah juga dia merasakan sakit karena kakinya terinjak rombongan jamaah dari Afrika Utara. Mereka memiliki rata-rata tinggi badan hampir dua meter. “Seketika itu merenung, berusaha mengingat dan memohon ampun, apakah saya pernah menzalimi orang lain?”
Semua pengalaman itu menyadarkan pendiri PT Saratoga Investama Sedaya untuk bersikap peduli pada sesama. Kisahnya di Tanah Suci dapat menjauhkan diri dari kelalaian untuk menzalimi orang.
Sebagai pengusaha, Sandi pun memaknai ibadah haji dengan getaran jiwa yang berbeda. Tawaf bermakna semangat untuk terus bergerak dinamis. Gerakan memutari Kabah sebanyak tujuh kali bermakna kita harus terus berusaha, tetapi dengan arah yang jelas, yaitu menjalani aturan Allah.
Segala usaha dan capaian yang diraih hakikatnya dikembalikan lagi kepada Allah SWT. Kembali ke titik nol, di mana starting point bisnis dimulai.
Selain itu, tawaf melatih untuk memiliki daya tahan dan kesabaran. Seorang pengusaha harus tegar ketika menghadapi jatuh bangun dalam bisnis. Tak hanya itu, haji mengajarkan sikap yang tetap rendah hati walau kesuksesan telah tercapai.
Sandi mengutip ungkapan sang Hujjatul Islam, Al-Ghazali. Saat melaksanakan tawaf di Baitullah, hendaklah ingat bahwa tawaf seperti kita shalat, selalu menghadirkan Allah dalam kalbu disertai rasa takut dan harap serta perasaan cinta pada-Nya.
Dengan menjalani tawaf, para jamaah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengelilingi seputar arasy-Nya. Dia mengungkapkan, bertawaf bukan semata-mata mengelilingi Ka’bah dengan tubuh, melainkan harus dengan hati. "Dengan begitu, kita memulai serta mengakhirnya karena Allah."
Ketika mencium Hajar Aswad, Sandi memaknainya sebagai jalinan sumpah setia kepada Allah dan akan mematuhi-Nya. Seperti yang telah dijalani Nabi Ibrahim AS dan diikuti nabi Muhammad SAW sebagai bentuk ketaatan pada contoh tuntunannya. Karena Hajar Aswad ibarat tangan kanan Allah di muka bumi. Allah berjabat tangan dengan makhluk-Nya, seperti seseorang berjabat tangan dengan saudaranya.