Senin 22 Sep 2014 19:24 WIB

'Het Mekkansche Feest'

M Subarkah
Foto: Dokpri
M Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, pengamat haji

''Pesta Makkah (Het Mekkansche Feest)!' Begitu judul buku yang merupakan karya arsitek politik Islam Hindia Belanda, Christiaan Snouck Hugronje (1857-1936).Buku terbitan tahun 1880 ini tebalnya 199 halaman. Kalau ingin membelinya, maka buku ini  masih dijual di toko buku dunia maya Amazon.com dengan harga plus ongkos kirim sebesar 35 dolar AS.

Buku ini sangat menarik. Meski agak kesulitan karena dibaca dengan cara menerjemahkan dengan 'mesin terjemahan' esensi buku ini bisa ditangkap. Di sana sini masih menggunakan bahasa Belanda yang agak kuno. Tapi lumayanlah untuk menerangkan seperti apa suasana perhelatan haji di Makkah ketika Hugronje tinggal di sana selama tujuh bulan pada tahun 1885. Buku ini disusun dari bahan disertasi Hugronje ketika hendak meraih gelar doktor bidang sastra Semit di Universitas Leiden Belanda.

                                                                              *****

Hugronje mengawali tulisannya dengan mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi lebih dari 1.200 tahun silam, yakni saat Rasullah Muhammad SAW sampai di Madinah ketika hijrah dari Makkah pada sebuah sore di bulan Februari di tahun 632 M. Saat itu Rasul disambut dengan meriah oleh penduduk Makkah. Suasana keramahan ini sangat kontras bedanya dengan perilaku penduduk Makkah yang begitu memusuhinya.

Setelah itu kemudian Hugronje bercerita tentang berbagai doktrin agama Islam. Salah satu yang dia bahas secara khusus adalah soal haji. Dia bercerita dengan detil mengenai dasar kaidah ibadah ini di dalam ajaran Islam. Dia mengutip berbagai sumber, baik itu ayat Alquran, hadits, pendapat ulama serta fuqaha, hingga catatan perjalanan berbagai orang yang berhaji ke Makkah (rihala), seperti catatan Ibnu Batuttah. Salah satu hal yang menarik dalam hal ini misalnya adalah bagaimana Hugronje berbicara secara detil mengenai sisi kemampuan (istito'ah) dari seseorang yang hendak berangkat haji ke Makkah.

Selebihnya, Hugronje menerangkan kisah Rasullah yang hendak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu sebenarnya kalau anda pembaca tarikh nabi yang 'serius' tak ada kisah yang menarik. Cerita tentang kedatangan Rasullah pada waktu 'pembebasan Makkah' sudah lazim diketahui. Begitu juga cerita penghancuran banyak berhala yang ada di seputaran Ka'bah.

Namun ketika kembali membahasa soal haji ada hal yang menarik dikemukakan oleh Hugronje. Secara panjang lebar dia membahas dan mencoba membuat analisa bahwa haji adalah ritual peninggalan kaum bangsa Semit kuno. Nabi Muhammad kembali menghidupkan ritual itu dengan versinya sendiri.

Menurut Hugronje, pada zaman sebelum Islam datang (pra Islam), 'Pesta Makkah' adalah merupakan kebiasaan Arab Kuno, yakni pesta peyembahan berhala. Pada zaman kuno itu orang dari seluruh penjuru Arab datang ke Makkah untuk berpesta, makan dan minum, bernyanyi-nyanyi, serta mendengarkan syair. Mereka juga melakukan tawaf keliling Ka'bah dengan telanjang dan melakukan hubungan badan di depan Ka'bah. ''Setelah Nabi Muhammad menaklukan Makkah maka segala kebiasaan atau tradisi kaum Arab Kuno diganti. Misalnya tak ada lagi berhala dan tawaf telanjang di sektar Ka'bah. Mereka diharuskan memakai ihram.''

Terkait soal prosesi haji pada saat Hugronje ada di Makkah, dia tak terlalu detil menceritakan suasananya. Konon karena dia tak sempat datang secara langsung karena keburu diusir penguasa Makkah karena ada laporan dari warga Perancis yang menuduhnya mencuri batu Tamia. Jadi bisa dipahami kalau ceritanya mengenai suasana Makkah terkesan hanya sepotong-sepotong. Hugronje menulis: semenjak 8 Dulhizah sore, para jamaah haji sudah berdatangan untukmelakukan wukuf di Arafah. Pada malam harinya kawasan padang pasir itu pun sudah penuh dengan tenda dan ramai diterangi kerlip ribuan obor.

Suasana seperti ini terus terjadi hingga tanggal 10 Dzulhijah. Setelah itu menjelang malam, jamah dengan membawa obor bergerak ke Arah Muzdalifah untuk mencari batu dan kemudian kesokan harinya mulai mengawali prosesi melempar jumrah di Mina. Hugronje mencatat  suasana ini memang layaknya pesta sebab baik pada malam dan siang harinya makanan datang melimpah. Apalagi hewan kurban pun banyak dipotong. ''Selama waktu itu terdengar berkumandang suara takbir dan talbiyah yang diucapkan para jamaah haji yang kebanyakan datang dari kawasan Arab, Asia, dan Afrika,'' katanya.

                                                                       ******

Lalu apakah suasana pesta yang dirasakan Hugronje pada tahun 1885 masih terasa sampai sekarang? Jawabnya memang begitu. Tiga hari menjelang puncak haji kota Makkah ditutup karena jalanan macet total. Para jamaah tak bisa lagi leluasa naik kendaraan. Kawasan Masjidil Haram hanya bisa didatangi dengan cara berjalan kaki. Untuk shalat di dalam masjid itu hal yang sulit dilakukan. Agar bisa duduk di dalam pelataran maka jamaah harus sudah datang dua jam sebelum adzan berkumandang. Bila terlambat sedikit maka kebagian tempat shalat di jalanan.

Selain disesaki jamaah haji, di setiap sudut kota muncul pedagang yang menjual aneka macam barang dari makanan, mainan anak, karpet, sajadah, pisau, teropong, sayuran, pakaian, dan lainnya. Khusus untuk kawasan pemukiman jamaah haji Indonesia, maka munculah aneka warung bakso, nasi rames, pedagangan gorengan bakwan serta tempe, sate dan soto padang, hingga warung khas Sunda. Para mukimin memanfaatkan 'pesta tahunan' itu untuk mengeruk uang.

Bagi penduduk Makkah sendiri saat itu pun merupakan waktu meraup rezeki sebanyak-banyaknya. Dalam sekejap barang dagangan di warung atau super market mereka ludes di borong pembeli hingga harus bolak-balik stok barangnya diisi kembali. Bagi yang punya mobil bak terbuka mereka jadikan taksi gelap jarak pendek dengan ongkos sekali jalan 15 real. Sekolah pun diliburkan. Sebagia siswanya dikerahkan menjadi relawan petugas haji dengan memakai pakaian seragam ala 'Pramuka'.

Sedangkan para anak mudanya yang kesehariannya selalu menyetir mobil sendiri, saat itu tiba-tiba  sibuk naik kendaraan sepeda motor. Mereka naik kendaraan ini  dengan tujuan mencari uang (tukang ojek). Uniknya, kebanyakan motor mereka masih baru bahkan banyak yang belum dilepas pembungkusnya. Maka tak beda dengan Jakarta, maka di setiap ujung gang bermunculan orang berhidung mancung yang menawarkan jasa transportasi.''Lima belas..lima belas real,'' kata mereka setiap kali mendapati jamaah Indonesia yang melintas di dekatnya.

Kalau begitu pada saat itu Makkah memang tengah berpesta!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement