REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bagi Prof Dr Ali Agus, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), pengalaman yang paling mengesankan dan berharga ketika menunaikan ibadah haji adalah sabar dan ikhlas. Ali Agus bersama isteri menunaikan ibadah haji tahun 2008. Kalau itu, Agus tidak perlu menunggu terlalu lama, hanya mendaftarkan diri tahun 2007, dan setahun kemudian bisa berangkat.
Dijelaskan Ali Agus, ketika menunaikan ibadah haji sengaja memilih jalur reguler. Sebab ia ingin menikmati perjalanan haji atau perjalanan rohani yang membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan lamanya.
Dalam melaksanakan ibadah haji, kata Agus, membutuhkan aktivitas fisik yang sangat banyak. Mulai dari persiapan di rumah, dalam perjalanan menuju Tanah Suci, selama berada di Tanah Suci, dan perjalanan pulang. "Semua itu membutuhkan kekuatan fisik. Setiap langkah bisa memunculkan rasa amarah kalau hati ini tidak dilengkapi dengan rasa sabar dan ikhlas," kata Agus di Yogyakarta, Ahad (28/9).
Agus mencontohkan, untuk ke kamar kecil harus antre panjang. Padahal sudah menahan kencing cukup lama. Apalagi ada jamaah haji yang minta didahulukan. "Kalau tidak memiliki rasa sabar dan ikhlas, persoalan sepele ini bisa memunculkan amarah," tandas Agus.
Selain itu, untuk menunaikan shalat baik di Masjidil Haram Makkah maupun Masjid Nabawi Madinah juga harus berdesakan. Terutama di tempat-tempat yang mustajab untuk berdoa seperti di Roudoh, Hijir Ismail, di belakang imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Namun demikian, Agus dan istri mempunyai trik agar bisa melaksanakan shalat di tempat-tempat mustajab. Agus beberapa kali berhasil shalat di sekitar Hijir Ismail atau di belakang imam di Masjidil Haram.
"Untuk bisa shalat di Hijir Ismail atau belakang imam, kira-kira delapan atau sepuluh menit setelah adzan, melakukan tawaf dan berusaha untuk masuk ke dalam dan mepet Ka'bah. Tidak usah sampai selesai tujuh putaran. Ketika khomat atau iqomah, langsung membuat shaf di sekitar Hijir Ismail," kata Agus.
Saat berada di sekitar Ka’bah, Ali Agus juga mendapatkan tawaran untuk bisa mencium Hajar Aswad. Namun Agus tidak mau menggunakan jasa orang-orang di sekitar Ka’bah, karena ia takut menjadi sombong setelah berhasil mencium Hajar Aswad di antara ribuan orang yang ingin menciumnya. “Saya takut menjadi ujub atau membanggakan diri setelah berhasil mencium Hajar Aswad. Saya maunya yang alami saja,” katanya.
Untuk bisa masuk dan berada di samping Ka’bah memang tidak mudah, akibat banyak orang yang berdesak-desakan, terutama jika sudah mendekati dinding Ka’bah. Namun Agus merasa bersyukur bisa berhasil melaksanakan shalat fardhu di dekat Ka’bah karena berbekal niat, sabar dan ikhlas.
“Saya pernah tawaf dan sudah dekat dengan Ka’bah, tetapi tidak ada niat untuk menyentuh dinding Ka’bah. Akhirnya, saya menjadi semakin jauh dari Ka’bah,” ujarnya.
Selama melaksanakan ibadah haji, Ali Agus juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat peternakan hewan kurban. Bahkan dirinya juga mengunjungi tempat pemotongan hewan kurban. Ini sesuai dengan disiplin ilmu yang digelutinya sebagai dosen Fakultas Peternakan UGM.
Setelah berhaji, pelajaran sabar dan ikhlas itu diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dirinya merasa tidak ada yang berat dan sulit dalam mengarungi kehidupan ini. “Semua pekerjaan kalau dilaksanakan dengan sabar dan ikhlas, lancar dan tidak ada yang sulit,” kata Agus.