REPUBLIKA.CO.ID, Di samping itu, alat komunikasi yang disediakan Kemenag untuk para petugas haji juga belum memadai. Sebagai dampaknya, Tien dan teman-temannya mengaku kesulitan saat melakukan koordinasi.
Persoalan lainnya, kata Tien lagi, transportasi yang disiapkan pemerintah untuk jamaah haji yang bermasalah ternyata masih minim sekali. Ia dan timnya pernah harus merogoh kocek sendiri membayar ongkos taksi untuk mengangkut jamaah yang sakit.
“Walau bagaimanapun, kami juga memiliki tanggung jawab moral. Tidak mungkin kami menutup mata saja melihat jamaah dengan keadaan seperti itu,” katanya.
Tien juga merasa prihatin dengan ulah sejumlah warga Indonesia yang menjadi “joki” Hajar Aswad di Masjidil Haram. Ia pernah melihat dengan mata kepala sendiri para joki tersebut berbuat kriminal, seperti mencuri, merampok, dan menipu jamaah.
“Korbannya tidak hanya jamaah Indonesia, melainkan juga jamaah dari Malaysia, Filipina, dan Timur Tengah. Bahkan, anak buah saya pun pernah ditonjok (dipukul) sama mereka. Sebagai orang Indonesia, kita tentu malu,” ujarnya.
Tien hanya berharap, persoalan-persoalan tersebut bisa menjadi catatan bagi Kemenang dalam penyelenggaraan haji pada masa datang.
Selain itu semua, Tien mengaku memiliki kesan tersendiri selama menjadi petugas haji. Jika dibandingkan perjalanan haji yang pertama, haji tahun lalu dirasakan lebih menarik.
“Posisi saya saat itu tidak hanya sekadar menjalankan ibadah secara individual, tetapi juga melayani umat. Itu luar biasa sekali rasanya,” kata perempuan yang sudah bertahun-tahun memperjuangkan jilbab bagi polwan ini lagi.