Rabu 02 Sep 2015 13:49 WIB

Haji di Masa Kolonial Jadi Inspirasi Ulama

Haji
Foto: youtube
Haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Haji di masa kolonial menjadi inspirasi para tokoh agama Islam. Para tokoh ini mengalami lonjakan spiritual yang semakin menambah santun sikapnya dan tinggi derajat kealimannya.

Seperti dikutip buku Haji dari Masa ke Masa terbitan Kementerian Agama, KH Muhammadun misalnya, sepulangnya dari Tanah Suci berganti nama menjadi Mashum. Di Tanah Suci, ia menemukan dunianya yang selanjutnya mengantarkan dirinya menjadi ulama besar. Ia mendidik santri selama setengah abad setelah pulang haji.

Sejarah juga mencatat, pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama setelah berhaji menetap di Makkah. Di sana, ia perdalam ilmu agama. Ia berguru kepada Syekh Mahfudz at-Termasi, ulama ahli hadist asal Termas, Pacitan, Jawa Timur. Guru lainnya, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang saat itu menjadi guru besar di Makkah dan Imam Masjidil Haram.

Rusydi, santri asal Cirebon mendapat kesempatan haji di usia yang relatif muda. Ia mendapat izin dari pemerintah kolonial berkat wibawa Kiai Ali, ayahnya. Sepulangnya berhaji, Rusydi giat mengkaji Alfiyiyah. Rusydi muda itu kemudian hari dikenal sebagai KH Mahrus Ali, ulama kenamaan NU asal Lirboyo, Kediri.

Inspirasi inilah yang ditakutkan pemerintah kolonial. Berbagai upaya dilakukan, agar tidak lahir tokoh agama Islam yang menganggu ketenangan kolonial mengkontrol wilayah nusantara. Ini yang kemudian berlanjut hingga Jepang datang menggantikan Belanda untuk menguasai Nusantara.

Di masa Jepang, keinginan mengusir penjajah semakin menguat. Pada akhirnya, Jepang tak lagi mampu menahan gelombang keinginan itu. Yang menarik, keinginan membara tokoh ulama mendorong kemerdekaan dijadikan pelecut semangat Jepang menghadapi kekuatan sekutu di Pasifik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement