Rabu 02 Sep 2015 16:13 WIB

25 Tahun Kumpulkan Sekelip dan Seketip Buat Berhaji

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Keluarga Calon Jamaah Haji Menunggu di Pelabuhan Tanjungpriok
Foto: Arsip Nasional RI
Keluarga Calon Jamaah Haji Menunggu di Pelabuhan Tanjungpriok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Tekad dan ikhtiar para calon jamaah haji seringkali membuat takjub. Ada penjual tempe dari Jakarta Timur yang menabung selama 30 tahun. Ada juga tukang getek penyeberang sungai  dari Solo yang mengumpulkan rupiah demi rupiah dalam jangka waktu serupa.

Rupanya, kisah itu tidak hanya ada di masa sekarang. Sejak zaman kolonial, kaum Muslim Nusantara telah membuktikan tekadnya untuk berhaji.

Henri Chambert Loir dalam Naik Haji di Masa Silam menuturkan, sampai abad ke-20, perjalanan haji dilaksanakan dalam konteks masyarakat yang kebanyakan tidak mempunyai sistem tabungan. Padahal, jumlah uang yang dibutuhkan sangat tinggi. Tidak saja untuk ongkos jalan, melainkan juga biaya hidup di tanah suci.

Bagi bangsawan, tuan tanah, atau saudagar, masalah uang ini begitu remeh. Hamengku Buwono II misalnya, tahun 1811 memutuskan untuk mengirim 24 orang ke Makkah tanpa ada persoalan biaya. Sejumlah bangsawan bahkan naik haji diiringi kerabat atau pelayan.

“Seorang pemuka Jawa selalu membawa serta sejumlah besar orang desa ke Mekkah, mereka melayaninya sebagai imbalan atas makanan dan penginapan,” tutur Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Latter Part of the 19th Century. Tahun 1924, saat Bupati Bandung R.A.A Wiranatakusuma naik haji, ia membawa dua orang pelayan.

Sebaliknya, kelas sosial menengah ke bawah yang tidak mempunyai harta warisan atau pendapatan besar, tidak bisa mengharapkan rezeki tiba-tiba. Ada yang terpaksa menggadaikan harta benda, meminjam uang pada rentenir, atau menabung sen demi sen.

Kendati harus habis-habisan, tekad mengunjungi rumah Allah tak bisa disurutkan. Pada tahun 1880-an misalnya, ratusan orang dari Pulau Bawean bekerja di Singapura sebagai kusir, penjaga keamanan, dan sebagainya. Mereka baru pulang setelah menunaikan ibadah haji.

Kekuatan tekad berhaji ini juga direkam oleh Achmad Djajadiningrat dalam Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Ia menceritakan, suatu kali ada seorang desa datang kepadanya meminta sebuah paspor haji. Orang ini sehari-harinya adalah pedagang kayu bakar. Dia amat terbatas pengetahuannya. Sampai-sampai, dia belum pernah melihat sapi, dan mengira sapi sang bupati adalah kuda bertanduk.

Kala itu,peraturan pemerintah Hindia Belanda menetapkan uang sebesar 500 gulden untuk mendapat paspor haji. Ketika Pangeran Achmad Djajadiningrat menanyakan uangnya, orang dusun ini tidak dapat memperlihatkan.

Apa pasal? Rupanya, uang tersebut telah ditanamnya sedikit demi sedikit selama 25 tahun di berbagai tempat di ladangnya. Seluruh mata uang berbentuk sekelip (5 sen) dan seketip (10 sen). Tentu saja, satu pekerjaan yang payah untuk menggali setiap sudut ladang demi mengumpulkan sekelip seketip itu sampai mencapai 500 gulden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement