REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah menciptakan manusia beraneka ragam bangsa, bahasa, dan budaya untuk saling mengenal. Bagi saya, perjalanan haji ke Tanah Suci juga merupakan kesempatan untuk mengamalkan alquran surat Al Hujuraat ini. Berjuta-juta jamaah dari berbagai negara hadir dalam ibadah agung dan berkumpul di satu tempat. Kapan lagi merasakan dan mempraktikkan ukhuwah Islamiyah secara langsung kalau tidak pada saat beribadah haji?
Saya tak sungkan untuk menyapa dan berkenalan dengan saudara sesama Muslim yang berasal dari berbagai negara. Dengan modal bahasa Inggris dan bahasa Arab yang pas-pasan, serta tentu saja bahasa 'Tarzan', saya merasa pede aja untuk berkomunikasi dengan jamaah dari negara lain.
Saya berhasil bercakap-cakap dengan beberapa Muslimah asal Inggris, Turki, Nigeria, Sudan, Pakistan, India, Aljazair, Maroko, Iran, Irak, Tazikistan, Uzbekistan, Cina, Thailand, dan Malaysia. Bahkan, seorang kakek asal Tazikistan bernama Mochtar (nama belakangnya tak terekam baik otak saya) gembira sekali menerima perkenalan saya. Meski tidak selancar saya, dia bicara dengan bahasa Inggris.
Suatu ketika, seorang bapak asal India bertanya pada saya dan suami dalam mobil omprengan menuju Masjidil Haram dengan isyarat berapa ongkosnya, suami saya menjawab, ''Three reals,'' sambil menunjuk tiga jari. Dia terperanjat ''Are you Indonesian? Do you speak English?'' Duh, malu deh . Apakah mereka menyangka orang Indonesia ndeso banget gitu?
Tetapi, saya tersenyum, ''Yes, a little,'' jawab saya. Kemudian, dia banyak tanya ini dan itu tentang Indonesia. Alhamdulillah tambah saudara.Di antara komentar mereka tentang Indonesia adalah musibah badai tsunami yang melanda Aceh tahun 2004. Mereka menyampaikan rasa empati yang mendalam. Mereka juga menyampaikan bahwa Indonesia negara kaya karena banyaknya jamaah haji asal Indonesia yang datang ke Tanah Suci setiap kali musim haji tiba. Bahkan, jamaah haji Indonseia hampir setiap musim haji tiba selalu tampak paling dominan.
Komentar lain adalah orang Indonesia mudah dikenali karena ramah, baik-baik, tidak banyak bicara. Memang saya perhatikan kebanyakan jamaah asal negara lain yang seringkali berbicara keras satu sama lain. Tidak seperti orang Indonesia, yang relatif tenang dan tidak banyak bicara.
''Except you!'' kata Hajjah Della asal Nigeria menuding saya suatu ketika. ''I just love make a friend, Della.'' saya berusaha menjelaskan alasan saya senang berbicara. ''Yes, and because you are also a writer!'' sambungnya. Kami tertawa.
Kami saling memberi hadiah berupa tasbih, sabun, atau sekadar makanan dan buah. Suatu hari saya tidak membawa satu pun benda menarik, hanya beberapa lembar uang riyal untuk ongkos pulang-pergi ke Masjidil Haram. Di sana, terselip uang rupiah lima ribuan. Saya serahkan kepada sahabat baru asal Aljazair yang berbahasa Arab bercampur Prancis. ''Hadiah laki... Hazannuquud min ardi, Andunisiy,'' kata saya. ''Syukron!'' jawabnya sambil mencium pipi dan mengusap kepala saya.
Hadiah memang berasal dari bahasa Arab, jadi tak sulit menyerahkan pemberian untuknya. Di hari terakhir di Madinah, saya menyerahkan mukena yang sangat ditaksir Hajjah Della. Dia menyangka mukena adalah seragam haji wanita Indonesia.
Namun, untuk bisa berkomunikasi di Tanah Suci, hanya bermodalkan bahasa Arab pas-pasan tak selamanya sukses. Bahasa Arab yang biasa dipelajari adalah fushah (bahasa baku). Bahasa ini dipakai oleh kalangan pelajar/intelektual atau bahasa resmi di kantor-kantor. Di jalan atau pasar, bahasa Arabnya berbeda.
Suatu hari, saya menanyakan harga sebuah mushaf Alquran di sebuah toko buku, ''Bikam? (berapa)'' Penjaga toko menjawab, ''Khomastasy!'' Spontan saya menaikkan alis tanda tak mengerti. Dia tersenyum dan bertanya, ''Ha... Andunisiy?'' sembari meraih kalkulator dan mengetik angka 15. Oo... Khomsata asyar berubah menjadi khomastasy. Saya geleng-geleng kepala.
Sejak itu, saya tak lagi berbasa-basi berbicara dengan bahasa Arab, terutama dengan kalangan pedagang yang menggunakan bahasa Arab pasaran. Berbicara dengan memakai bahasa 'Tarzan' ternyata lebih cepat serta mudah dipahami oleh mereka. Dan, tentu saja dengan bantuan kalkulator.
Kendala bahasa juga sempat dirasakan oleh teman saya, dokter Lisa Nurhasanah. Beliau salah seorang TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia) di kloter saya. Sewaktu ngobrol di pesawat dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, saya tanya tentang penyakit yang tidak terprediksi sebelumnya.
Beliau menjawab bahwa wasir yang tidak diduga-duga justru menyerang bertubi-tubi, sementara persediaan obat wasir terbatas.''Ketika obat itu habis, saya merasakan susahnya cari obat wasir di Makkah karena tidak bisa bahasa Arab. Saya ke apotek dan menanyakan obat itu dalam bahasa Inggris, petugas tidak juga mengerti. Saya sampai tunjuk-tunjuk bokong (maaf!) tetap mereka nggak ngerti juga,'' katanya.
Dalam perjalanan haji, meski kita bisa berbicara dengan bahasa Inggris, ternyata bahasa Arab menjadi sangat penting. Sebab, kebanyakan pedagang dan warga setempat lebih memahami kalau kita bicara dengan bahasa tersebut.
Sumber: Pusat Data Republika/Ummi Zalfa
Kloter 55 JKS 2008