Kamis 17 Sep 2015 18:51 WIB

Slyviana Murni Sempat Digandeng Orang tak Dikenal

Rep: Damanhuri Zuhri/Sadly Rachman/ Red: Agung Sasongko
Sylviana Murni
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sylviana Murni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata DKI Jakarta, Sylviana Murni, sempat merasakan pengalaman berangkat haji menggunakan kapal laut. Saat itu, usianya masih 12 tahun.

"Dahulu saya naik kapal laut bersama ayah, Drs H Dani Moerjani, seorang tentara berpangkat letkol, dan keluarganya. Subhanallah, di kapal laut itu calon jamaah haji tidurnya berjejer, ada yang tidur di geladak," ungkap Sylviana saat bercerita kepada Republika, belum lama ini.

Sylviana melihat tantangan berhaji di masa lalu begitu berat. Tetapi, kebersamaan yang dibangun memudahkan mereka dalam menjalani tantangan itu. "Contoh saja, saya sewaktu mencari kamar mandi di kapal susah sekali. Jumlahnya tidak seimbang dengan penumpang. Tapi, tidak ada rebutan. Kebersamaannya kuat sekali," ujar dia.

Karena itu, lanjutnya, jamaah haji saat ini seharusnya bisa bersyukur. Layanan dan fasilitasnya sangat lengkap dan memudahkan. "Bayangkan saja, saya dahulu tidur dalam satu ruang bisa sembilan orang. Ruangnya begitu sempit. Sekarang di Arafah saja sudah ada pendingin udara, jadi tidak berasa panas," kata wanita Betawi kelahitan Jakarta, 11 Oktober 1958 itu.

Ketua Pramuka Kwarda DKI Jakarta ini menilai sepanjang pelaksanaan haji sudah banyak pembenahan yang dilakukan pemerintah. Misalnya, sistem kuota. "Ini sistem bagus sekali. Janganlah kita egois, kasih kesempatan kepada jamaah yang belum pernah naik haji," kata mantan wali kota Jakarta Pusat 2008-2013 itu.

Setelah haji pertama di usia 12 tahun, Sylviana  kembali ke Tanah Suci pada tahun 1994. Ia berangkat bersama suami, Gde Sardjana.

Ia mengalami pengalaman luar biasa saat berada di Tanah Suci, antara lain ketika melempar jumrah. "Saya waktu itu ingin pergi sendiri. Saya minta izin suami. Tiba di lokasi tiba-tiba saya digandeng orang tak dikenal. Entah bagaimana, saya sudah berada di depan sehingga bisa melempar jumrah," kata Sylviana yang menyelesaikan pendidikan S1 hukum administrasi negara di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta.

Sehabis melempar jumrah, Sylviana merasa kesulitan. "Suasana begitu ramai, rasanya tidak mungkin untuk saya keluar dari barisan. Tapi, lagi-lagi ada yang menuntun keluar, alhamdulillah ketika kita selalu berbuat baik, berniat baik, baca al-Fatihah, Allah memberikan kemudahan untuk kita," ucap wanita yang menyelesaikan S2 manajemen kependudukan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1999.

Pengalaman menarik juga dialami suaminya saat berada di Tanah Suci. Saat itu, suaminya hendak melaksanakan tawaf. Disiapkanlah buku panduan, dengan harapan dapat melaksanakan tawaf sesuai dengan apa yang diteladankan Rasulullah.

"Waktu itu suami saya berharap ada orang yang bisa memandunya. Entah bagaimana, suami saya malah yang bimbing jamaah. Seketika, dia hafal. Di belakang suami saya, ada jamaah yang terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek yang mengikuti," ujar wanita yang merampungkan S3 manajemen pendidikan di Fakultas Kependidikan Universitas Negeri Jakarta pada 2005.

Sylviana dan suami berangkat haji di usia yang tak lagi muda. Tantangan yang dihadapi selama di Tanah Suci begitu menguras fisik dan psikis. Keduanya sepakat, kondisi prima seorang Muslim melaksanakan haji ada di usia muda. "Berangkatlah selagi muda ketika fisik masih bagus. Karena, ibadah haji membutuhkan kondisi fisik prima," ujar Sylviana.

Slyviana menambahkan, selain fisik, ada hal lain yang menjadi modal untuk berhaji. Yakni, komitmen, mengingatkan, dan melengkapi. "Saya selalu meminta Bapak (suaminya—Red) agar mengingatkan saya agar tidak terlalu memaksakan beribadah. Seperti saya diingatkan agar memberikan kesempatan kepada jamaah lain mencium hajar Aswad," ungkap wanita yang memulai karier di DKI sejak 1985 sebagai staf Penatar BP-7 DKI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement