Ahad 04 Oct 2015 10:10 WIB

KH Fakhruddin Teliti Nasib Jamaah Haji Indonesia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Asrama Haji di era Kolonial
Foto: Arsip Nasional
Asrama Haji di era Kolonial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sejak kecil hingga hingga beranjak dewasa, Muhammad Jazuli tidak pernah mendapatkan pendidikan formal layaknya di sekolah formal. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki pengetahuan, justru ia dikenal sebagai pribadi yang serbabisa.

Hal itu tidak terlepas dari peran didikan ayahandanya, Haji Hasyim. Dari orang tuanya itulah ia mendapatkan ilmu agama maupun ilmu praktis lain. Ia pun berguru pada para ulama terkenal lain di tanah Jawa.

Menginjak usia remaja, ia kemudian menuntut ilmu ke Makkah sekaligus melaksanakan haji. Ia belajar agama di Makkah selama kurang lebih delapan tahun sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Sekembalinya ke Tanah Air, ia mengganti namanya menjadi H Fakhruddin.

Setelah menimba ilmu di Makkah, KH Fakhruddin mendidikasikan waktunya untuk aktif di pergerakan. Ia terlibat dalam Sarekat Islam. Meski, keikutsertaannya dalam organisasi tersebut tak bertahan lama, hanya satu tahun. Ini menyusul kemelut di internal SI yang berujung pada terbitnya larangan rangkap keanggotaan bagi anggota SI. Berkaitan dengan peraturan tersebut, Fakhruddin memilih untuk tetap di Muhammadiyah.                  

Ulama yang Multitalenta

KH Fakhruddin memang seorang ulama yang terkenal multitalenta. Sisi lain dari pribadinya terungkap bahwa ia juga seorang orator dan penggerak massa. Bersama-sama dengan Suryopranoto, dia pernah menggerakkan demonstrasi buruh perkebunan tebu untuk menuntut hak, kehormatan, dan upah yang wajar. Akibat ulahnya tersebut, dia pernah ditangkap Belanda dan dituntut di pengadilan dengan kewajiban membayar denda sebesar 300 gulden.

Bersama Sutan Mansur, KH Fakhruddin melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Ia juga pernah menggerakkan pawai umat Islam untuk memprotes kebijakan residen Yogyakarta yang terlalu menganakemaskan misi dan zending Kristen. Aksinya tersebut membuka mata umat Islam terkait jati diri mereka sebagai mayoritas dan ancaman bahaya zending Kristen.    

Kiprahnya di kancah internasional jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Dia pernah menjadi utusan wakil umat Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam. Ia pernah terpilih oleh Kongres al-Islam Hindia dan Komite Khilafat saat itu sebagai delegasi menghadiri Kongres Khilafat di Mesir. Meski agenda tersebut batal lantaran alasan politik, kongres tersebut ditunda.

Di tengah kesibukannya tersebut, ia juga produktif menulis. Ia mengarang sejumlah buku, seperti Pan Islamisme dan Kepentingan Pengajaran Agama. Perhatiannya di dunia media juga tercatat sejarah. Ia adalah sosok penting di balik Majalah Soeara Moehammadijah. Berkat jasanya, majalah ini menjadi media resmi Hoofdbestuur Muhammadiyah di bawah naungan Bagian Pustaka.

Pada 28 Februari 1929 sosok alim multitalenta ini wafat pada usia yang relatif muda, 39 tahun. Ia dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Pada 26 Juni 1964 pemerintah menobatkan gelar kepadanya sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement