Sabtu 03 Sep 2016 04:51 WIB

Makkah, Mitologi Jawa, Dalam Kajian Peneliti Belanda

BDJ 14 asal Embarkasi Banjarmasin menuju Makkah, Rabu (31/8).
Foto:
Perjalanan kafilah rombongan jamaah haji meninggalkan kota Makkah menuju padang Arafah pada tahun 1935.

Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar 'Sultan'. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkahdan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.

Rombongan utusan dari Banten pulang pada tahun 1638 (sedang yang dari Mataram baru sampai pada tahun 1641). Selain gelar Sultan mereka membawa berbagai hadiah dari Syarif Besar kepada sang raja: antara lain suatu potongan dari kiswah, kain hitam yang menutup Ka`bah dan yang setiap tahun diperbaharui - yang tentu saja dianggap sebagai jimatyang sangat mangkus.

Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1674, untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa juga naik haji. Ia adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), AbdulQahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, babad yang dikarang pada paroh kedua abad ke-17.

Menurut sejarah legendaris ini, pendiri dinasti Islam di Banten, Sunan Gunung Jati, naik haji bersama dengan anak dan penggantinya, Hasanuddin, setelah mereka bertapa di berbagai gunung (pusat kosmis!) di Jawa Barat. Dari Sajarah sendiri sudah jelas bahwa haji mereka bukan suatu perjalanan biasa, dengan naik perahu dan sebagainya.Mereka sebagai wali mencapai Makkah dengan cara lain, yang tak patut diungkapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement