Sabtu 03 Sep 2016 04:51 WIB

Makkah, Mitologi Jawa, Dalam Kajian Peneliti Belanda

BDJ 14 asal Embarkasi Banjarmasin menuju Makkah, Rabu (31/8).
Foto:
Kota Makkah di masa lampau.

Perjalanan haji ini digambarkan lebih lanjut dalam karya berbahasa Melayu, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya: "Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!"

Setelah sudah ia berkata-kata, maka lalulah ia berjalan dengan anaknya dan dibungkusnya dengan syal. Maka tiada beberapa lamanya di jalan lalu ia sampaidi Makkah, maka lalu di Masjidul Haram. Serta sampai di Masjidul Haram maka lalu dikeluarkannya anaknya dari dalam bingkisan, lalu sama-sama ia thawaf ke Baitullah serta diajarnya pada kelakuan thawaf dan do'anya sekalian, serta mencium pada hajarul aswad, dan ziarat kepada segala syaikh, dan diajarkannyarukun haji dan kesempurnaan haji.

Setelah sudah ia mendapat haji, maka lalu ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir. Setelah sudah ia ziarat kepada Nabiyullah Khidhir itu, lalu ia pergi ke Medinah serta mengajarkan anaknya ilmu yang sempurna, beserta

dengan bai'at demikianlah silsilah dan wirid dan tarekat Naqsyabandiyah serta dzikir dan talkin dzikir [dan] khirqah serta syughul...

Selain dua tokoh sejarah ini, masih banyak tokoh lain yang belakangan, untuk meningkatkan kharisma mereka, disebut telah naik haji secara supranatural. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusatpenyebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untuk pergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah.

Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Dan sampai sekarang masih ada kyai di Jawa yang, menurut penganut mereka yang paling fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram.

Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorangdalam pandangan orang Jawa.

Penilaian orang Jawa yang begitu tinggi terhadap Makkah sebagai pusat spiritual tidak terbatas pada kalangan santri saja.

Kasus yang paling menarik dari tokoh yang belakangan 'dihajikan' oleh pengagumnya adalah Aji Saka, pencipta mitologis budaya Jawa. Menurut suatu naskah Jawa, yang ditemukan di Kediri pada pertengahan abad ke-19, Aji Saka pergi keMakk

ah dan memperoleh ilmu dari Nabi Muhammad.

Yang lebih mengagetkan lagi, orang Tengger, yang konon menganut agama Hindu Jawa, juga pernah mengaku demikian. Menurut legenda Tengger ini, Aji Saka pada awalnya memperoleh ilmu dari Antaboga, sang raja naga. Setelah dikembalikan ke rumah kakeknya, Kiai Kures (Quraisy), sang kakek melihat cucunya menjadi luar biasa cakap.

"Tetapi ada satu yang masih lebih cakap dari ia", ujar Antaboga, "namanya adalah Muhammad dan tempat tinggalnya Makkah. Kirimlah cucumu kepada beliau agar menambah ilmu."

Aji saka kemudian dikirim ke Makkah, dan di sana berguru kepada Nabi Muhammad. Setelah selesai belajar, Muhammad memberikannya sebuah kropak(buku lontar) dan pangot (pisau untuk menulis atas lontar), dan mengirimnya kembali ke

Timur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement