REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) mengatakan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan telah menandatangani kesepakatan terkait istita’ah kesehatan (kemampuan berhaji dalam sisi kesehatan). Namun, kesepakatan tersebut di tingkat lapangan belum dapat terlaksana dengan maksimal.
‘’Kami harus mengatakan bahwa belum semua jajaran di bawah penyelenggara haji, terutama di embarkasi bisa bersikap tegas,’’ kata Komisioner Kesehatan KPHI, Abidinsyah Siregar, di Makkah, Arab Saudi, Senin (19/9).
‘’Karena, sesuai data yang kami kumpulkan di semua sektor di Makkah, pada hari Armina itu diperhitungkan mencapai ribuan jamaah sebenarnya tidak layak untuk terbang kemari sesuai kemampuan kesehatannya,’’ katanya.
Abidinsyah mengatakan persoalan tersebut merupakan ‘puncak gunung es’ yang akan menjadi masalah besar dalam pelayanan kesehatan jamaah. Apalagi, jumlah komposisi tenaga kesehatan tidak seimbang dengan jumlah jamaah haji yang ditangani.
Komposisi satu dokter dan dua tenaga medis untuk satu kloter dinilai tidak memadai jumlah komposisinya. Karena itu, KPHI menyarankan adanya penambahan petugas kesehatan.
Dokter spesialis tahun ini pun tidak ada di tingkat setor. Padahal, tahun-tahun sebelumnya banyak dokter spesialis yang ditempatkan di tingkat sektor.
Abidinsyah mengatakan hal tersebut perlu dibenahi karena jumlah jamaah risti tahun ini merupakan jumlah jamaah risti terbanyak dengan angka mencapai 67 persen dari total jamaah. Sementara, jamaah risti pada 2014 dan 2015 masing-masing sebanyak 55 persen dan 61 persen.
Kemenag dan Kemenkes sebenarnya sudah memiliki pola untuk menekan angka kematian dan kesakitan. Dalam kesepakatan istita’ah kesehatan yang telah ditandatangani, pendekatan kesehatan lebih melihat kesiapan dan kemandirian jamaah dalam menjalankan ibadah haji. Hal tersebut yang perlu ditekankan pelaksanaannya dalam penyelenggaraan haji tahun-tahun mendatang.