Pernyataan Suwanda dan Arsyad, dalam perbicangan di sela penyelenggaran haji 2011 itu, sejalan dengan pendapat sosiolog Belanda, Martin van Bruinessen. Dia menyatakan, semasa hidupnya Syekh Nawawi merupakan tokoh utama ulama Makkah.
Namun, sebelum itu, harap pula diketahui, selain menjadi rujukan keilmuan, para ulama di Makkah juga dipakai sarana legitimasi oleh penguasa dunia Islam. Seperti yang pernah dilakukan oleh Pangeran Rangsang atau Sultan Agung pada 1640-an dan juga sebelumnya pada 1630-an oleh Sultan Ab’ul-Mafakhir, raja Banten keempat.
Khusus untuk Raja Banten keempat itu, dia malah tak hanya mengirimkan utusan guna meminta pengakuan sebagai sultan. Ab’ul-Mafakhir juga meminta kepada Syarif (penguasa) Makkah penjelasan mengenai isi berbagai kitab agama. Bahkan, ia pun meminta didatangkan ahli fikih dari Makkah un-tuk memberikan pengajaran agama di Banten.
Tingginya gairah intelektual di Makkah, khususnya mengenai terhormatnya posisi intelektual Nawawi, juga terekam dalam catatan Snouck Hurgronje. Dia menyebut Nawawi orang yang paling alim dan rendah hati dari nusantara. Karena kepintarannya, pemerintahan Ottoman Turki memperbolehkan dia mengajar dan menjadi imam Masjidil Haram.
Kemasyhuran Nawawi yang wafat sekitar tahun 1897 itu sampai kini masih banyak jejaknya. Hampir semua kitabnya hingga kini masih dipelajari di pesantren, salah satunya kitab tentang aqidah (tauhid), syarah dari kar ya Syekh Ahmad Marzuqy Aqidah al-Awwam dengan judul Nuruzh-Zhalam.
Berbeda dengan ulama Nusantara sebelumnya, Nawawi menulis kitabnya dalam bahasa Arab. Tidak kurang dari lima puluh kitab yang dia tulis, 22 kitab masih beredar, dan 11 kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren.
“Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka,’’ tulis Martin Van Bruinessen.