Ahad 05 Mar 2017 07:59 WIB

Pengakuan Kedaulatan RI, Misi Haji: 'Nahnu Laa Nataakhkharu'

Sutan Syahrir menandatangani perjanjian Linggarjati.
Foto: museumindonesia.com
Sutan Syahrir menandatangani perjanjian Linggarjati.

Oleh: Lukman Hakiem*

Kemerdekaan bangsa Indonesia telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, konstitusi dan perangkat pemerintahan negara segera disusun, akan tetapi dunia internasional belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Padahal, pengakuan dunia internasional adalah salah satu syarat bagi eksistensi sesuatu negara.

Dalam pada itu, Belanda yang lama menguasai Indonesia, dengan berbagai cara  berusaha keras untuk  merebut kembali tanah jajahannya. Para pemimpin Indonesia yang rata-rata masih berusia di bawah 50 tahun, betul-betul diuji kecerdasan dan kepiawaiannya di dalam mempertahankan kemerdekaan.

Sebagai pemenang Perang Dunia, Sekutu mengirimkan tentaranya ke Indonesia untuk mengamankan wilayah yang ditinggalkan oleh tentara Jepang yang kalah perang. Komandan Sekutu di daerah yang dahulu disebut Hindia-Belanda, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, dalam sebuah pidato radio menyatakan bahwa pasukan Inggeris yang mewakili Sekutu tidak bermaksud mencampuri urusan politik dalam negeri, dan bahwa dia akan menyerukan kepada pembesar-pembesar Belanda dan pihak Indonesia agar membicarakan masa depan Hindia-Belanda.

Sikap pimpinan Sekutu yang realistis itu dimanfaatkan secara maksimal oleh para pemimpin Republik Indonesia. Oleh karena Belanda bersikukuh tidak mau berbicara dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang dianggap sebagai kolaborator Jepang, maka pada 14 November 1945 Presiden Sukarno mengangkat Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.

Di masa penjajahan Jepang, Sjahrir dikenal dengan sikapnya yang anti-Jepang. Lewat gerakan bawah tanah, Sjahrir mengkoordinasi perlawanan terhadap Jepang. Maka Sjahrir pun bergerak cepat. Untuk menguji kesungguhan sikap netral tentara Sekutu yang dipimpin oleh Inggeris, Sjahrir mengirim 500 ribu ton padi ke India yang sedang kekurangan bahan makanan. Bantuan itu ditukar dengan tekstil dari India.

Meski ditandai dengan amarah Belanda, tentara Sekutu membantu penuh dan mengawal proses pengiriman padi ke India.

Sukses dengan diplomasi padi, Sjahrir terus bergerak, dia mulai membawa sengketa Indonesia-Belanda ke meja perundingan.

Seperti dikatakan M Natsir, para pemimpin Republik di masa itu sangat sadar bahwa perundingan tidak akan serta merta menyelesaikan masalah. Partai Masyumi, sebagaimana Tan Malaka, tidak percaya Belanda akan mematuhi kesepakatan perundingan.

Tapi, kata Natsir, dengan membawa masalah Indonesia ke meja perundingan, maka persoalan Indonesia menjadi masalah internasional. Ketidakpatuhan terhadap hasil perundingan, akan mendapat reaksi internasional.

Demikianlah, di bawah kontrol Sukarno-Hatta, Sjahrir berunding dengan Belanda dan menghasilkan Perjanjian Linggajati yang diparaf pada 15 November 1946, dan disetujui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 6 Maret 1947. Menurut Perjanjian Linggajati, kedaulatan Indonesia diakui di Jawa dan Sumatera. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan seluruh Indonesia, masih panjang!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement