Senin 19 Mar 2018 06:19 WIB

Saudi Diminta Beri Layanan Prioritas pada Jamaah Terbesar

Saudi dinilai bisa memberi pelayanan baik tanpa memungut pajak lima persen.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ani Nursalikah
Jamaah haji Indonesia menunggu bus shalawat ke Masjid Al Haram untuk melaksanakan shalat ashar di Sektor 7, Makkah, Arab Saudi, Kamis (25/8).
Foto: Republika/Ani Nursalikah
Jamaah haji Indonesia menunggu bus shalawat ke Masjid Al Haram untuk melaksanakan shalat ashar di Sektor 7, Makkah, Arab Saudi, Kamis (25/8).

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kerajaan Arab Saudi didorong memiliki sejumlah inisiatif memberi pelayanan prioritas pada negara dengan jamaah terbesar pada musim haji. Hal itu menjadi upaya pembuktian ihwal tak perlunya internasionalisasi pengelolaan haji.

Pengamat haji Indonesia Ade Mafruddin beranggapan pengelolaan ibadah haji sebaiknya dipercayakan pada pelayan dua kota suci di bawah Raja Arab Saudi. "Hanya yang perlu ditekankan adalah perlu prioritas pengelolaan," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (18/3).

Menurut Ade, Arab Saudi harus jeli melihat negara mana saja yang paling banyak mengirim jamaah hajinya. Kemudian, Saudi bisa memberi kesempatan seluas-luasnya pada negara itu memberangkatkan calon jamaah haji dan umrahnya. Ia beranggapan langkah tersebut membuat Saudi memiliki nilai tawar yang baik. 

Ia mengingatkan, Arab Saudi adalah pelayan dua kota suci. Dengan demikian, negara tersebut harus memberi pelayanan tanpa memungut di luar ketentuan yang berkaitan dengan jamaah, seperti pajak lima persen dan visa.

"Kan orang luar, datang (ke Arab Saudi) tujuannya ibadah, umrah dan haji. Tak perlu ada pajak, orang mau ibadah, kalau tujuannya dagang atau kerja, silakan," ujar dia.

Ade menegaskan secara hukum dan ketentuan, pelaksanaan haji berada di Jazirah Arab. Sebab, semua simbol haji dan umrah ada di Saudi, seperti, Ka'bah, sa'i, wukuf dan mabit. Menurut dia, apabila internasionalisasi penyelenggaraan dibagi ke negara-negara teluk, hal itu dapat menimbulkan masalah.

"Menginternasionalisasikan tata kelola di bawah negara konsorsium, misalnya OKI, itu saya kira bukan kebijakan yang populis atau baik," ujar Ade.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement