IHRAM.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami dari Madinah, Arab Saudi
JAKARTA -- Desa Sembungan di Wonosobo, Jawa Tengah, bukan desa biasanya. Pada ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut, ia menjulang jauh di atas seluruh pemukiman lainnya di Pulau Jawa.
Ia merentang di lembah sejumlah bukit dan gunung. Mengapit desa itu, ada Bukit Sikunir, Gunung Pakuwojo, Bukit Seroja, Gunung Prambanan, dan Gunung Bisma. Danau Telaga Cebong menambah dramatis pemandangan desa tersebut.
Dari Bukit Sikunir, warga bisa menyaksikan matahari naik di sela-sela kemegahan Gunung Sindoro, Sumbing, Slamet, Merbabu, Merapi, serta Bukit Ungaran. Tak perlu mendaki jauh dari desa itu untuk berada di atas awan.
Namanya juga dataran tinggi, cuaca di daerah yang tak jauh dari Kawasan Wisata Dieng itu, selalu dingin. Menjelang musim kemarau ini, di media sosial ramai foto penampakan bunga es yang menutupi ladang-ladang di desa tersebut. Ahmad Fathoni (41 tahun), seorang petani tempatan mengisahkan, sedianya bunga-bunga es itu bukan barang langka. Hampir setiap kemarau ia tiba.
Untuk berwudhu, masyarakat desa itu tak berani begitu saja dengan air yang mengalir. Jika tak pakai pemanas, air yang mengalir langsung menyakiti kulit. Begitu juga angin yang berhembus, terasa langsung menembus tulang.
Tak heran, saat tiba di Tanah Suci melalui Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, pada Jumat (27/7), Fathoni terkejut. “Kaget saya dengan panasnya. Baru kali ini merasakan panas seperti ini,” kata dia saat ditemui di Madinah, Sabtu (28/7).
Ia ingat, menengok hape dan melihat suhu 40 derajat celcius terpampang disitu. Saat ia meninggalkan kampungnya menuju Embarkasi Solo, suhu sempat mencapai di bawah lima derajat celcius. Berkebalikan dengan dingin yang menembus tulang di desanya, angin panas seperti menampar-nampar kulit di Madinah.
Fathoni menuturkan, sebanyak 14 jamaah haji berangkat dari desanya. Enam di antaranya adalah pasangan suami-istri beserta satu duda dan satu janda. Yang tertua di rombongan itu berusia 61 tahun dan yang paling muda 30 tahun. Rentang usia itu tergolong muda dibandingkan rerata total jamaah Indonesia.
Seluruhnya adalah petani kentang yang merupakan komoditas tanam utama daerah itu selain hotel “Memang di desa kami daftar hajinya muda-muda,” kata Fathoni.
Menurutnya, warga desa mereka sadar, dikelilingi gunung-gunung bukan saja berarti keindahan. Ia juga adalah resiko mengingat kebanyakan masih aktif. Sebab itu, banyak warga desa serius beribadah termasuk termasuk berupaya menabung sejak dini untuk berangkat ke Tanah Suci.
Selain itu, tinggal di daerah dingin, mereka juga kerap diingatkan bahwa ibadah haji memerlukan fisik prima, terutama di daerah panas seperti Makkah dan Madinah.
Mudianto (38 tahun) warga Sembungan lainnya mengatakan sudaj sejak lama menabung dari hasil bertani kentang untuk berangkat ke Tanah Suci. Ia terbiasa menyisihkan hasil panen musiman kentang bersama istrinya dan akhirnya mendaftar haji tujuh tahun lalu, saat baru berusia 31 tahun. “Alhamdulillah sangat cukup untuk naik haji,” kata dia saat ditanyai soal penghasilannya sambil tertawa lebar.
Ia juga menyatakan kaget dengan cuaca di Tanah Suci. Dari desa, ia hanya membawa baju- baju tipis untuk mengantisipasi panas. Bekal selanjutnya, kata dia adalah doa. “Mudah-mudahan Allah membuat hawa di Tanah Suci enak buat badan kami,” kata dia.