IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) mengeluhkan proses administrasi Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (Sipatuh) dalam penyelenggaraan ibadah umrah. Bahkan, Himpuh beserta para anggota permusyawarahan para tavel haji dan umrah sudah punya rencana melakukan judicial review atas adanya keputusan Dirjen Kemenag soal itu.
“Ini lebih pada administrasinya daripada layanan penyelenggaraannya,” kata Ketua Umum Himpuh Baluki Ahmad kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.
Ia mengaku tidak memahami tujuan adanya Sipatuh. Sebab, seorang calon jamaah umrah harus memasukkan data ke Sipatuh lebih lengkap daripada pendataan perbankan. Bahkan, calon jamaah yang masih berusia anak harus melakukan sistem tersebut, seperti memiliki alamat surat elektronik (surel). Karena itu, dia meminta pemerintah meninjau ulang adanya Sipatuh itu.
“Kita meminta pada pemerintah agar ditinjau, kalau perlu dicabut itu Sipatuh,” ujar dia. Baluki menjabarkan, seorang calon jamaah umrah yang tidak atau gagal terdaftar pada Sipatuh, maka tidak bisa mencetak tanda pengenal dari Kementerian Agama (Kemenag). Memberangkatkan calon jamaah umrah tanpa tanda pengenal Kemenag, dianggap sebagai pelanggaran. Kendati, calon jamaah tersebut mengalungi tanda pengenal dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). PPIU yang memberangkatkan jamaah tanpa tanda pengenal Kemenag, akan dibekukan sementara oleh pemerintah.
“ID card (tanda pengenal) yang dikeluarkan perusahaan dianggap tak berarti. Padahal, ID card yang dibuat penyelenggara lebih lengkap,” ujar dia.
Dia mengatakan, seseorang yang berhasil terdaftar pada Sipatuh, dapat mencetak tanda pengenal berlogo Kemenag. Sayangnya, pendaftaran ke Sipatuh sangat sulit. Satu saja item tidak terpenuhi, maka proses pendaftaran Sipatuh gagal. Salah satu syarat pendaftaran Sipatuh adalah berlakunya KTP elektronik (KTP-el). Karena itu, Baluki mengatakan, Himpuh mengeluhkan sulitnya sistem administrasi yang harus dilalui untuk mendaftarkan seorang calon jamaah umrah.
“Sangat (menyulitkan). Ini sangat menjadi dilema seluruh penyelenggara, dan pada ujungnya menolak,” kata dia.
Menurut dia, pemantauan PPIU menggunakan sistem administrasi Sipatuh terlalu berlebihan. Apabila Kemenag ingin memantau PPIU nakal, bisa dari laporan keberangkatan dari penyelenggara. Selain itu, Sipatuh juga sering eror atau bermasalah.
Baluki menyebut, Sipatuh adalah bentuk arogansi dari kewenangan regulator. Ia menceritakan, Sipatuh bisa membuat seorang calon jamaah umrah yang sudah memiliki tiket dan hotel, gagal berangkat karena masalah sistem.
Sikap Para Travel Haji Umrah
Dalam rilisnya yang dikirimkan oleh Sekjen Himpuh ke Republika.co.id, Ahad lalu (21/10), memuat hasil pertemuan Permusyawaratan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi). Isinya, mengeluhkan pemberlakuan SK Dirjen PHU Nomor 336 Tahun 2018 tentang Pedoman Pendaftaran Jamaah Umrah melalui Sipatuh (Sistem Informasi pengawasan Terpadu Umrah dan Haji).
''Kami memang mengeluhkan soal Sipatuh. Kami milih tidak mengikuti Sipatuh. Kami memandang SK tersebut menimbulkan keresahan, bahkan sudah ada rencana untuk melakukan judicial jeview. Untuk soal ini, kami rencananya akan diundang Kemenag besok Selasa (23/10),'' kata Sekjen Himpuh, Anton Subekti.
Anggota permusyawaratan Patuhi terdiri dari berbagai penyelenggara ibadah haji dan umrah. Para angotanya terdiri dari Himpunan Penyelenggara haji dan Umrah (Himpuh), Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan in-Bound Indonesia (Asphurindo), serta Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Indonesia (Kesthuri).
Berdasarkan pernyataan tertulis tersebut, Patuhi menilai rigid aturan Sipatuh dirasakan sebagai bentuk arogansi regulator. Mereka beranggapan reguator memaksakan diri masuk ke ranah operator dan membelenggu eksistensi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Patuhi menggelar rapat pada Kamis lalu (18/10) dan mengambil sejumlah sikap atas dasar sejumlah pertimbangan. Pertama, Patuhi menyatakan perumusan aturan dalam SK Dirjen PHU Nomor 336/2018 tersebut sejak awal tidak pernah melibatkan pihak asosiasi PPIU sebagai salah satu pemangku kepentingan. Hal itu mengabaikan asas keterbukaan, seperti yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Kedua, pengelolaan sistem dasar data server Sipastuh adalah pihak swasta dan dilakukan dengan sangat detail. Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran pemanfaatan data calon untuk kepentingan dan tujuan lain yang menguntungkan pihak tertentu. Dikhawatirkan, hal itu bisa mengancam keberlangsungan usaha PPIU.
Ketiga, usaha Kementerian Agama (Kemenag) melakukan kerja sama dengan pihak perbankan dan perusahaan asuransi terseleksi, memberi sinyalemen kuat keberadaan Sipatuh memiliki tujuan komersial.
Karena itu, Patuhi memutuskan sejumlah hal, pertama, Patuhi bersepakat menolak pemberlakuan SK Dirjen PHU Nomor 336 Tahun 2018 tersebut. Patuhi berencana menempuh jalur hukum untuk judicial review (uji materiil).
''Kami memang melihat ini ada keanehan. Kami sekarang bertanya apakah ketika sekarang dana haji dikelola tersendiri oleh BPKH, Kemenag menjadi ingin mengelola dana umrah? Ini yang kami khawatirkan dan bincangkan. Bila ada biro travel yang nakal jumlahnya masih sangat sedikit, tapi jangan dianggap menjadi masalah di semua travel. Lagi pula mengapa ada travel yang nakal, saya yakin memang masih ada kendala dalam pengawasan,'' tegas Anton.
Kedua, sebagai perwujudan penolakan, Patuhi memerintahkan seluruh anggotanya melakukan gerakan 'Left Serentak dari WAG SIPATUH' pada Ahad (21/10) pukul 11.00 WIB. Setelah itu, tidak mengakses Sipatuh untuk kegiatan pemberangkatan grup umrah sampai turunnya hasil keputusan uji materiil atas SK tersebut.
Ketiga, sepanjang grup umrah memiliki visa, tiket, paket dan dikelola di bawah tanggung jawab PPIU, maka tidak ada aturan larangan keberangkatan sekalipun tanpa melalui Sipatuh.
Keempat, Patuhi melalui asosiasi masing-masing menyiapkan bantuan advokasi apabila anggota mengalami hambatan keberanggapan grup akibat gerakan penolakan Sipatuh ini.
''Pada sisi lain, apa persoalan sangat serius yakni perlindungan data pribadi seseorang. Nah, apabila ikut Patuhi apakah data pribadi para jamaah yang begitu detail terlindungi dan tidak dimanfaatkan pihak lain. Ingat ini zaman big data, yang berarti sebuah data bernilai sangat luar biasa dan mahal harganya, Kami belajar pada kasus big data yang ada pada Gojek,'' tegas Anton.
Kelima, agar gerakan ini berjalan efektif, masing-masing asosiasi di bawah Patuhi memberi sanksi organisasi kepada anggotanya yang tidak mengindahkan keputusan ini.
Surat pernyataan itu ditanda tangani oleh Ketua Dewan Pembina Patuhi Fuad Hasan Masyhur, Ketum Himpuh Baluki Ahmad, Ketum Amphuri Joko Asmoro, Ketum Asphurindo Magnatis Chaidir, Ketum Kesthuri Asrul Aziz Taba, Ketua Harian Patuhi Artha Hanif, dan Plt Sekjen Patuhi Anton Subekti.
Patuhi menyebut keputusan tersebut bertujuan melindungi hak-hak jamaah. Sekaligus menjaga eksistensi dan keberlangsungan usaha PPIU. Serta, memelihara martabat Kemenag untuk konsistensi perannya sebagai regulator dalam tata kelola penyelenggaraan perjalanan umrah.