Selasa 18 Jun 2019 17:58 WIB

Meski E-Visa Umrah Saudi Positif, tapi ini Catatan Patuhi

Patuhi menilai meski e-visa positif tetapi memiliki konsekuensi negatif.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), Artha Hanif berbincang bersama awak redaksi Harian Umum REPUBLIKA di Jakarta Selatan, Rabu (28/10).  (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Wakil Ketua Umum Kesatuan Tour Travel Haji Umrah Republik Indonesia (Kesthuri), Artha Hanif berbincang bersama awak redaksi Harian Umum REPUBLIKA di Jakarta Selatan, Rabu (28/10). (Republika/Raisan Al Farisi)

IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Pemerintah Arab Saudi telah mengeluarkan kebijakan visa elektronik atau e-visa bagi jamaah umrah. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menyambut baik kebijakan tersebut.

Ketua Harian Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi), Artha Hanif, mengatakan diumumkannya kebijakan e-visa efektif dimulai pada 22 April 2019.  

Baca Juga

Artha menuturkan, diumumkan perubahan aturan dalam proses memperoleh visa umrah di antaranya pertama rekam biometrik tidak lagi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi PPIU untuk mendapatkan visa umrah. 

Kedua, penerbitan visa umrah diperoleh melalui e-visa dan dapat diprint sendiri oleh masing-masing PPIU serta tidak lagi harus membawa paspor dan berkas lainnya ke Kedutaan Besar Saudi Arabi (KBSA).  

"Tentu saja dengan info tersebu di atas PPIU akan mendapat banyak kemudahan dalam memperoleh visa umrah," kata Artha saat berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (18/6).

Artha menerangkan, sekarang PPIU cukup mengirim data-data paspor serta konfirmasi fasilitas hotel, bus serta jadwal kedatangan dan kepulangan kepada muasasah provider visa di Saudi melalui partnernya masing-masing yakni PPIU provider visa di Indonesia. 

"Selanjutnya, e-visa akan dikeluarkan oleh Muasasah provider visa di Saudi dan dicetak serta dikirim ke masing-masing PPIU provider visa di Indonesia," katanya.

Dengan adanya kebijakan tersebut, maka jamaah tidak perlu lagi harus dilakukan biometrik (sidik jari) sebagaimana prosedur yang lalu, di mana biometrik dijadikan sebagai syarat menerbitkan visa oleh KBSA. "Serta tidak perlu lagi harus datang ke KBSA membawa fisik paspor dan berkas lainnya," katanya.

Artha mengatakan, kemudahan memperoleh visa umrah tentu menggembirakan PPIU, sekaligus juga mengkhawatirkan, karena dengan prosedur perolehan e-visa sekarang ini akan memungkinkan bagi siapapun termasuk non-PPIU bisa mendapatkan kemudahan tersebut.

Kekhawatiran yang Patuhi maksud, kata Artha, adalah kemungkinan terjadinya service failure atau gagalnya pelayanan kepada jamaah. Dan hal tersebut sangat merugikan jamaah dan PPIU secara tidak langsung. 

"Sehingga pelayanan tidak sesuai kontrak atau akad dan jamaah umrah yang tidak pulang sesuai tiket atau over stay dan lain-lain," katanya. 

Artha mempertanyakan, bila poin-poin tersebut di atas terjadi, siapa yang bertanggung jawab? “Jika itu menjadi tanggung jawab Muasasah Provider visa di Saudi, lalu di mana peran pemerintah kita dalam hal ini Kemenag RI?” kata dia.

Dia mengatakan, apakah pemerintah RI bisa jamin tidak akan ada jamaah Indonesia yang berangkat umrah kecuali harus melalui PPIU sesuai ketentuan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji & Umrah  Nomor 8 Tahun 2019.

Patuhi, kata Artha, berpendapat semestinya Kemenag RI segera lakukan FGD (Focus Group Discussion) yang melibatkan pihak terkait untuk memastikan peran pemerintah dan PPIU ke depan dalam menghadapi era keterbukaan yang memberikan banyak kemudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkan visa dan fasilitas layanan di Saudi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement