Jumat 16 Aug 2019 15:01 WIB

Mengapa Cukup Banyak Pengemis di Jamarat?

Jamaah berharap, pemerintah Arab Saudi menindak kegiatan mengemis di Jamarat

Rep: Syahruddin El-Fikri/ Red: Hasanul Rizqa
Sejumlah pengemis duduk dan tiduran di jalan menuju Jamarat, Selasa (13/8).  Mereka meminta sejumlah uang kepada jamaah yang melintas di dekatnya.
Foto: Republika/Syahruddin El-Fikri
Sejumlah pengemis duduk dan tiduran di jalan menuju Jamarat, Selasa (13/8). Mereka meminta sejumlah uang kepada jamaah yang melintas di dekatnya.

IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Makkah dan Madinah adalah dua kota suci yang maknanya sangat istimewa dalam hati umat Islam. Setiap Muslim mesti memiliki keinginan untuk mendatanginya. Bisa dikatakan, tak ada satu pun orang Islam yang tidak ingin ke Tanah Suci.

Di Makkah, terletak kiblat bagi miliaran umat Islam, adapun Madinah adalah kota tempat jasad Nabi Muhammad SAW bersemayam. Selain itu, tentunya Tanah Suci menjadi lokasi bagi seluruh umat Islam untuk menunaikan ibadah haji.

Baca Juga

Bagaimanapun, tidak semua orang yang singgah di Tanah Suci mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tak terpuji. Sebagian kecil di antaranya justru mencoreng makna kesucian Makkah dan Madinah. Entahlah, siapa pelakunya. Selalu saja ada tangan-tangan kotor dan tidak bertanggung jawab.

Buktinya, beberapa jamaah haji mengaku sempat kehilangan barang berharga miliknya. Ini tentunya bukan untuk generalisasi. Perbuatan buruk seseorang menjadi tanggung jawab oknum pelakunya, bukan ajaran agamanya.

 

Mengganggu Jamaah

Selain itu, ada pula pemandangan yang kurang begitu menyenangkan. Meski tak "separah" tindak pencurian, kondisi ini agaknya membuat jamaah haji yang singgah di Tanah Suci tak nyaman.

Pemandangan apa itu? Deretan pengemis yang berada di sekitar jamarat. Jumlahnya puluhan, atau mungkin ratusan. Mereka tampak menjulurkan tangannya ke arah jamaah haji yang lalu-lalang di jalan, berharap belas kasihan.

Mereka terdiri atas laki-laki dan perempuan. Usianya, mulai dari balita hingga tua.  Para perempuannya rata-rata mengenakan pakaian warna hitam. Yang laki-laki, berpakaian putih, bercelana panjang, berbaju gamis.

Ada yang normal. Dalam arti, tubuhnya tak menunjukkan tanda-tanda kekurangan fisik. Namun, ada pula yang menyandang disabilitas, baik di kaki maupun tangan.

Yang mampu berjalan akan mendekati jamaah yang lewat. Yang tidak bisa berjalan, akan duduk di atas kursi roda, bahkan tiduran atau duduk-duduk di jalanan.

Saya membatin, mengapa begitu banyak "gelandangan" atau "pengemis" di jamarat? Kondisi ini tak tampak di area sekitar Masjid al-Haram ataupun di Masjid Nabawi.

Berbeda halnya di sekitar pemondokan jamaah di Madinah. Ada beberapa pengemis. Mereka yang perempuan menghampiri jamaah yang lewat. Tangannya menutup wajah dengan kain cadar. Mereka bukanlah dari disabilitas karena dapat berjalan dengan normal.

Para pengemis itu, tak segan-segan mendatangi dan meminta-minta kepada orang yang lewat. Malahan, terkadang mereka sedikit memaksa. Sekali saja tangan Anda merogoh saku, walaupun yang diambil bukan uang, mereka akan sigap mendatangi.

Walau Anda sudah berjalan jauh, mereka masih mengiringi di belakang. “Ya Allah, astaghfirullah. Kenapa sebegitunya?” batin saya.

Hal serupa juga dialami jamaah lainnya. Ada pula yang kesal dengan ulah para pengemis itu. Misalnya, yang dialami Suwardi, seorang jamaah asal Kabupaten Kebumen.

Dia cerita, saat sedang mengirim pesan kepada seseorang melalui pesan WhatsApp, tiba-tiba seorang pengemis mencoba mengambil ponsel miliknya. Karuan saja, Suwardi kesal.

“Hei!” teriaknya.

Bukan hanya itu. Ada pula pengemis yang "berani", semisal merogoh saku jamaah. Benar-benar sangat tidak nyaman.

Saya sempat memerhatikan gerak-gerik sejumlah pengemis di seputaran jamarat ini.

Saat seorang pengemis mendatangi saya. Dia perempuan, mengenakan cadar dan menggendong bayi yang menangis keras.

Saya tak tahu persis usia ibu ini, sedangkan kulit si bayi tampak masih kemerah-merahan. Saya taksir, usia anak itu kurang dari satu bulan.

Begitu saya pandangi dengan saksama wajahnya, perempuan pengemis itu buru-buru pergi menjauh. Entahlah, apa yang ada di benaknya.

Saya mencoba mengeluarkan selembar uang riyal. Ada yang mendekat, seorang remaja laki-laki. Kulitnya agak hitam. Rambutnya keriting. Ia mau menerima uang yang saya beri, tetapi enggan diajak berkomunikasi.

Entahlah. Mungkin dia tidak memahami bahasa saya. Mungkin bahasa Arab yang saya pakai tidak sesuai dengan dialek yang dipahaminya. Namun, saya merasa dia pasti memahami gestur maksud saya.

photo
Seorang perempuan tampak menunjukkan gestur mengemis di jalan menuju Jamarat, Arab Saudi, Selasa (13/8) (Republika/Syahruddin)

Kemudian, mobil aparat keamanan Arab Saudi mendekati lokasi ini. Kontan saja, para pengemis di ini buru-buru menyngkir. Para polisi itu membunyikan sirene.

Saya sempat bertanya kepada salah seorang jamaah, Hurdi. Dia mengaku pernah memberikan sejumlah uang kepada pengemis di sini. Namun, pengemis yang dibantunya itu enggan berkomunikasi kecuali dengan gerakan tangan.

Itu pun kalau sudah dikasih uang, mereka cepat-cepat menyingkir. “Melihat tingkat mereka, saya jadi kesal juga,” kenang Hurdi. Wajar saja, perangai pengemis itu kurang sopan.

Hurdi berharap, pemerintah Arab Saudi memberlakukan larangan keras atas kegiatan mengemis di jamarat.

Ya, semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah Arab Saudi, selaku tuan rumah dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement