Sabtu 21 Sep 2019 05:01 WIB

Mengejar Taliban Hingga Santri Sampai Ke Lahore

Taliban dipersepsian menjadi haus darah karena ulah media massa barat.

Masjid Badsahi
Foto: Muhammad Subarkah
Masjid Badsahi

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Udara pagi Lahore masih terasa jekut suam-suam kuku. Musim semi baru menapaki ujung. Tapi warga sudah mulai sibuk lalu-lalang. Di jalanan keledai yang menarik pedati hingga bemo dan sepeda motor sudah mulai berebut jalan.

“Kita mesti ke masjid merah. Nanti setelah siang baru ke Taman Shalimar,’’ kata temanku Hasif, sembari duduk minum teh di beranda hotel ‘Kubilai Khan’. Dia ku kenal saat di Jogja. Dia asalnya dari Lamongan dan kini menjadi staf kedubes Indonesia di sana.

‘’Apa lebih baik kita cari taliban saja?’’ kataku meledeknya. Mendengar itu dia pun tertawa terlepas. Lalu dia menukas pendek.’’Di sini semua anak kecil itu Taliban. Kalau di Jawa itu sama saja dengan santri. Taliban itu artinya pelajar tak beda dengan santri. Kalau kota ke masjid itu akan lihat buktinya,’’ tegas Hasif.

Aku pun tersenyum saja melihat emosi dari Hasif yang datar ketika mendengar kata Taliban disebut. Beda dengan banyak orang yang selalu gelisah ketika disebut kata Taliban, Hasif malah cuek saja. Dia malah sibuk berkelakar.

‘Ayolah kita pergi ke masjid merah atau Badsahi itu. Kereeeen. Nanti di tengah jalan aku tunjukin di mana dahulu apartemen yang menjadi tempat hunian Hambali ketika belajar di sini,’’ kata dengan nada ringan.

Gambar mungkin berisi: 3 orang, termasuk Muhammad Subarkah, luar ruangan

Kami bersiap berangkat. Namun tiba-tiba di dekat kami masuk tiga orang bercambang dan berbaju khas ghamis Pakistan. Dia saat itu riuh berbicara dengan bahasa Urdu. Kami pun terdiam sembari mengingat begitu banyak kata yang akrab ditelinga yang terdengar di percakapan riuh itu, seperi kata ‘Aca, baba, nehi, putra, dan lainnya. Dan tanpa dinyana tiba-tiba mereka menyapa kami.

‘’Hai man, Where are you from? Kuala Lumpur?.’’ tanyanya

‘’No, Indonesia,’’ tukasku.

“Hah Jakarta? Ya ya ya. Merdeka ha ha ha’’ jawabnya.Entah mengapa kata ‘Merdeka’ diucapakannya. Tapi kemudian dia berkata bila kata Merdeka itu sama saja dengan bahasa Sansekerta: Mahardika.

‘’Ya saya beberapa kali ke Jakarta, Ke Pelabuhan Ratu, Parang Tritis, hingga Alor?”

“Untuk apa? tanyaku lagi.

“Mengantar orang ke Australia, naik perahu,’’ jawabnya.

Begitu mendengar jawaban itu saya langsung ingat kepada fotogaref andal alumni ITB, Om Ahmad Deni Salman, yang punya obsesi membuat dokumentasi dengan ikut naik perahu bersama-sama imigran gelap Asia yang akan ke Australia. Sampai sekarang tidak ada kabar apakah hal itu sudah dilakukan atau tidak?

Dan yang penting lagi, ucapan itu sama persis dengan obrolan di Masjidil Haram dengan seorang jamaah umrah dari Pakistan. Dia sempat bercerita pernah ke Australia dengan menumpang perahu dari pelabuhan ratu, Sukabumi.

‘’Dari Pelabuhan Ratu kami ke timur menuju ke kepulauan Alor di perbatasan NTT dan Australia. Dari sana kemudian baru masuk ke perairan Australia. Lalu mendarat di Darwin....’’

Mengingat semua itu aku hanya diam tercenung. Tapi kemudian tersentak dengan tarikan tangan Hafiz yang mengajaku pergi.

‘’Sudahlah kita pergi ke ‘Masjid Merah’ itu yuk.. Mumpung hari belum terlalu siang.’’ Katanya.

Aku menangguk dan kemudian berjalan pergi meninggalkan rombongan orang lokal yang mengajaku basa-basi berbincang sejenak.

Setelah sampai di luar hotel matahari memang mulai meninggi. Meski begitu sinarnya belum terlalu menyengat. Hanya suara ribut burung bul-bul dan elang yang berkoak-koak di udara dan pohon taman kota.

‘’Ya kita ke sana. Mudah-mudahan ada Taliban,’’ tukasku kepada Hafiz. Dia menjawabnya sambil tersenyum seraya masuk ke mobil pajero hitam yang sudah menungu kami.

Sampeyan ngerti uwong mau (Kamu tahu orang itu tadi?),’’ tanya Hafiz yang tiba-tiba mengajaku bicara pakai bahasa Jawa. Aku jawab dengan menggeleng.

‘’Dia intel Pakistan,’’ katanya pendek. Aku pun tercekat sejenak. Dan di situ aku baru sadar betapa hebat insting Hafiz yang seorang diplomat. Meski hanya bertemu sekilas, dia bisa menyimpulkan siapa orang yang mengajaku berbincang.

‘’Kamu sadar ngak di awasi. Kamu juga dianggap Taliban ha ha ha. Paling tidak kamu dianggap Taliban dari Jogja!,’’ sambung Hafiz.

Mendengar ledekan itu aku hanya garuk-garuk kepala.

‘’Ya Taliban, I am coming...!”

photo
Petugas mendistribusikan makanan pada sebuah acara berbuka puasa bersama di Lahore.

                ******

Dan benar saja sampai di Masjid Badshahi yang dibuat para Sultan Mughal itu banyak terdapat rombongan anak-anak sekolah yang bersorban putih. Mereka tengah merubung sebuah mimbar yang di dekatnya terlihat duduk lelaki setengah baya berjenggot lebat yang tengah sibuk memutar-mutar tasbih. Sesekali dia berteriak memberi aba-aba agar anak-anak yang merubungnya berhenti bicara.

Setelah itu dengan sebuah dalam bahasa Urdu dia menyuruh anak-anak yang merubungnya mendendangkan sesautu. Tapi astaga! yang kemudian terdengar adalah sebuah lagu bersyair Arab yang begitu akrab ditelinga. Lagu puji-pujian para santri setiap kali akan masuk waktu shalat.

''Syif jadi taliban sama saja dengan santri,'' tanyaku ke Hasyif setelah mendengar syair lagu yang didendangkan para taliban itu.

''Ya iya lah. Taliban di sini juga Suni dan santri yang di pesantren itu juga Suni bukan. Cuma di sini kesannya jadi pejoratif karena memakai nama Taliban. Padahal nama ini sebenarnya netral-netral saja untuk menyebut seorang atau sekumpulan siswa yang tengah belajar agama. Taliban (Pakistan), santri (Jawa), student (inggris), medresanti (Bosnia) ya istilahnya yang sama saja,'' tuturnya lagi.

''Jadi mereka Wahabi? Radikal?'' tanya saya lagi.

''Ya tidaklah. Nama Taliban jadi terkesan radikal  sebagai hasil cuci otak media massa barat. Kamu tahu mengapa taliban jadi radikal? Ya karena mereka tahu tanak airnya diobok-obok oleh orang barat, Eropa dan Amerika. Para taliban itu tak terima karena tanah airnya diserbu begitu saja oleh tentara asing. Mereka akhirnya menerima dan berkawan dengan taliban karena merasa satu perjuangan. Jadi jangan salah kira. Gampang gebyah uyah (disamaratakan),'' jawab Hafiz lagi.

Mendengar keterangan Hafiz, kini menjadi benar adanya kata seorang Jendral dari Angkatan Perang Pakistan. Dalam sebuah perbincangan dia mengatakan,''Apa yang disebut Taliban berubah menjadi radikal karena hidup mereka sangat sulit. Di wilayahnya yang ada di pegunungan terpencil dahulu tak ada fasilitas umum seperti kesehatan dan sekolah. Mereka melawan karena hidupnya susah,'' kata sang Jendral.

photo
Keterangan Foto: Ruang shalat Masjid Badshahi Lahore, Pakistan.

Jendral ini kemudian melanjutkan pembicaraan bila kehidupan di wilayah Pakistan yang disebut radikal dan jadi sarang Taliban kini sudah berubah. Sekolah, faslitas kesehatan, dan kondisi perkampungan sudah mulai membaik. Pemerintas Pakistan memberikan perhatian penuh kepada kemajuan wilayah dan warga yang ada di sana. Hasilnya bom pun kini di negara di anak benua Asia ini sudah tak meletup-letup lagi.

''Ingat ya dari zaman Iskandar Zulkarnain, wilayah yang disebut sebagai tempat tinggal orang Taliban adalah wilayah yang tidak pernah tertundukan oleh perang manapun. Masyarakat di sana adalah orang yang dahsyat. Bila menjadi tentara mereka bisa bertahan seminggu hanya berbekal sepotong 'Nan' (roti gulung Pakistan) dan beberapa botol air putih. Mereka jagoan perang. Kalau dahulu kenal tentara Gurkha, ya mereka diantaranya berasal dari sana,'' katanya.

Kali ini aku hanya bengong saja mendengar cerita itu. Bayangan tentang Taliban tiba-tiba menghilang berubah menjadi sosok santri di kampung halaman di pesantren Jawa. Saya hanya menghela napas betapa dahsyatnya impuls negatif yang diberitakan oleh media atas sebuah kata yang bernama 'Taliban'. Sosok kata ini seolah menjadi begitu berbahaya. Kata taliban kini terkesan seperti sebuah pisau berburu dari Damaskus yang terkenal tajam berkilat. Taliban jadi terkesan haus darah dan ini bertolak belakang dengan kata aslinya.

Lagi-lagi, Taliban I am coming..!

                 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement