Selasa 25 Feb 2020 17:36 WIB

Terkait Omnibus Law, Sapuhi: Sebaiknya UU PIHU tak Diubah

UU tersebut baru disahkan pada April 2019 lalu dan belum banyak diterapkan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi), Syam Resfiadi.
Foto: dok. Istimewa
Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi), Syam Resfiadi.

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang saat ini dibahas di DPR menuai kritik dari berbagai pihak. Terbaru, RUU ini disebut akan melemahkan UU Penyelanggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) No 8 tahun 2019.

Asosiasi biro perjalanan haji, Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) menyebut bagi siapapun pihak yang merasa RUU ini akan melemahkan UU PIHU dapat mengajukan usulan tertulis kepada Kementerian Agama.

"Kalau mau bicara masalah hukuman perihal kelalaian biro perjalanan di RUU Omnibus Law ini, ajukan saja usulan ke Kementerian Agama. Berikan keterangan tertulis dan sampaikan saat ada rapat. Usulan ini kan dari Kemenag," ujar Ketua Umum Sapuhi, Syam Resfiadi, saat dihubungi Republika, Selasa (25/2).

Ia juga menyebut ketidaksetujuannya terhadap pihak yang menyebut RUU ini ada untuk mengurangi hukuman pelaku usaha yang melakukan kelalaian. Keberadaan RUU Omnibus Law adalah untuk menghapus UU yang dirasa tumpang tindih dengan UU lainnya.

Meski demikian, Syam menyebut memang sebaiknya UU PIHU ini tidak diotak-atik atau diubah terlebih dahulu. Hal ini mengingat UU tersebut baru disahkan pada April 2019 lalu dan belum banyak diterapkan.

Perihal adanya rencana pengurangan hukuman yang diberikan kepada biro perjalanan haji khusus maupun umrah yang dianggap lalai atau bermain curang dalam RUU Omnibus Law disebut Syam tidak bisa serta merta diartikan demikian. Hukuman 10 tahun penjara yang ditulis dalam UU PIHU merupakan hukuman maksimal dan tergantung pada kasus yang berlaku.

"Hukuman maksimal itu tergantung dari kasusnya juga. Tidak semuanya dikenakan hukuman maksimal. Ini berlaku juga dalam UU KUHP," ujarnya.

Hukuman 10 tahun penjara  yang tertulis dalam UU PIHU No 8 tahun 2019 adalah sanksi maksimal. Tertera untuk sanksi pidana, UU PIHU mengamanatkan 4 sampai 10 tahun penjara dan denda 10 miliar bagi pemilik travel yang bermain curang.

Sebelum sampai ke meja hijau, Syam menyebut Dirjen PHU Kemenag pasti sudah memberikan sanksi terlebih dahulu. Ada beberapa tahapan sebelum sanksi pidana diberikan kepada biro perjalanan ibadah umrah dan haji khusus yang dianggap menelantarkan jamaahnya. Mulai dari sanksi administrasi, lisan pertama dan kedua, hingga pengambilan keputusan karena dianggap sudah tidak kooperatif.

Meski demikian, Kemenag disebut juga memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan apakah kasus tersebut sudah termasuk fatal atau tidak. Bila dianggap fatal, maka sesuai UU tersebut akan diambil tindakan hukum yang tegas.

"Fatal ini seperti tidak mematuhi panggilan, tidak kooperatif, bahkan saat didatangi ke kantor mereka juga menghindar. Maka, mau tidak mau akan dilanjutkan kasusnya ke pihak kepolisian," ucap Syam.

Pun ketika sudah sampai di pengadilan, keputusan sanksi yang didapat tergantung dari tingkat kesalahan dan perilaku pertanggung jawaban dari biro tersebut. Apakah nantinya diputuskan terkena sanksi 10 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah, hal tersebut dikembalikan kepada putusan pengadilan. Angka tersebut merupakan batas maksimal dan memungkinkan untuk kurang.

Kekhawatiran RUU Omnibus Law melemahkan UU PIHU sendiri disampaikan Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj. Ia menyebut RUU tersebut bisa merugikan jamaah dan mengistimewakan pelaku usaha.

"Muatan Omnibus Law terkait UUPIHU sangat berpotensi mengancam dan sangat merugikan jamaah haji dan umrah, pada saat yang sama begitu sangat mengistimewakan pelaku usaha," kata Mustolih Siradj saat dihubungi Republika, Senin (24/2) kemarin 

Mustolih mengatakan, ancaman pidana 10 tahun yang semula dikenakan kepada Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang secara sengaja menyebabkan penelantaran jamaah dan gagal berangkat maupun pulang dari dan ke tanah suci dihapus. Sanksi pidana ini lalu diganti dengan sanksi administrasi dan kewajiban mengembalikan uang kepada jamaah.

Hal yang sama juga akan diberlakukan terhadap Penyelenggara  Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Ketentuan ancaman 10 tahun penjara bagi travel yang menelantarkan dan menyebabkan jamaah gagal berangkat dan pulang dari dan ke tanah suci dikonversi menjadi sanksi adminsitrasi dan kewajiban mengembalikan uang kepada jamaah. 

Mustolih menilai dicabutnya ancaman pidana terhadap PPIU dan PIHK yang lalai dikhawatirkan akan kembali menyuburkan praktik bisnis nakal oknum-oknum travel. Hal ini karena perlindungan hukum terhadap jamaah haji dan umrah dilemahkan.

"Padahal masih belum lama terjadi peristiwa memilukan ratusan ribu jamaah umrah gagal berangkat. Uangnya jamaah raib tidak kembali karena dikerjain beberapa travel nakal. Sampai sekarang tidak jelas nasib mereka. Pemerintah pun tidak mau bertanggung jawab," katanya.

Sementara itu, dikonfirmasi Republika, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Arfi Hatim, tak banyak berkomentar tentang RUU tersebut. Ia hanya menyebut adanya RUU Omnibus Law untuk memberi kemudahan dan kepastian perizinan.

"Semangatnya untuk memberi kemudahan dan kepastian dalam proses perizinan dengan tetap mengedepankan aspek pengendalian dan perlindungan terhadap jamaah umrah dam pelaku usaha," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement