Ahad 01 Mar 2020 06:04 WIB

Soal Moratorium Umroh, Pemerintah Harus Bentuk Pusat Krisis

Pusat krisis tersebut terdiri atas lintas kementerian dan lembaga.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Belum adanya kepastian terkait masa moratorium umroh yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi membuat calon jamaah umroh kebingungan. Padahal dalam waktu dekat bulan Ramadhan segera tiba, dan antusiasme Umat Islam sangat tinggi untuk melakukan umroh pada bulan suci tersebut.

"Dalam kondisi yang serba belum pasti ini, pemerintah sudah saatnya membentuk pusat krisis, yang terdiri dari lintas kementerian dan lembaga. Yaitu Kemenag yang bertindak sebagai leading sector, Kemenkes, Kemenpar, Kemenhub, Kemenlu dan BNPB serta juga organisasi penyelenggara jasa umroh," ujar Ketua Komnas Haji dan Umroh, Mustolih Siradj dalam pesan singkatnya, Sabtu (29/2).

Baca Juga

Menurut Mustolih, persoalan pembatalan kebarangkatan umroh oleh Arab Saudi saat ini seharusnya tidak hanya didudukkan sebagai persoalan untung rugi bisnis semata. Namun yang lebih diprioritaskan dari itu adalah menyangkut keselamatan jiwa ribuan jemaah umroh dari ancaman virus corona yang mematikan.

"Meski pemerintah sampai hari ini keukeuh menyatakan bebas corona, tetapi tidak ada salahnya meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi," ungkap Dosen Hukum Bisnis UIN Jakarta tersebut.

Oleh karena itu, kata Mustolih, pembentukan pusat krisis ini sudah sangat penting sebagai pusat informasi memantau dinamika kebijakan dan perkembangan yang terjadi di negara Arab Saudi. Juga mendata dan menghimpun jamaah umroh yang batal berangkat dari berbagai travel.

Kemudian sebagai pusat penyebaran dan pusat kontak informasi jamaah melakukan pengaduan untuk menghidari serta meminimalisir agar kabar yang diterima tidak simpang siur. "Fungsi lainnya memfasilitasi jemaah yang ingin membatalkan atau meminta pengembalian biaya (refund) ataupun terkait penjadwalan ulang (reschedule) bila situasinya sudah aman dan kondusif," jelas Mustolih.

Dia mengatakan, ini juga dapat berfungsi sebagai wadah merumuskan standar operating procedure (SOP) bila ada kondisi darurat. Seperti untuk memfasilitasi jamaah umroh yang sudah terlanjur terbang ke Tanah Suci tetapi mengalami persoalan kesehatan maupun kendala-kendala di negara transit. Pusat krisis ini juga bisa menjadi wadah pertukaran data maupun informasi bagi penyelenggara jasa umroh.

"Tentunya untuk mengambil langkah-langkah yang tepat merespons berbagai keluhan dan persoalan yang mereka hadapi, termasuk merespons aspirasi jamaah. Juga diperlukan agar informasi yang disampaikan kepada publik benar dan akurat," tambahnya.

Lebih lanjut, Mustolih menyatakan, model pusat krisis semacam ini pernah dibentuk oleh pemerintah ketika terjadi gagal berangkatnya ribuan jamaah First Travel beberapa waktu lalu yang melibatkan Kemenag, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bareskrim Mabes Polri. Saat itu cukup membantu dan efektif.

"Prinsipnya, kesiapan menghadapi persoalan dengan cara yang lebih terorganisir dalam situasi seperti sekarang ini jauh lebih baik agar tidak berpotensi menjadi bom waktu di belakang hari," tuturnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement