REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Semua orang paham bahwa dari zaman kolonial para haji diawasi –bahkan dibenci – para penguasa kaum kolonial. Mengapa dituduh sebagai pencetus perlawanan setiap kali terjadi hura-hara di kalangan rakyat Hindia Belanda yang jadi koloninya.
Ada catatan menarik dari kisah ‘Naik Haji Di Masa Kolonial’ yang ditulis Henri Chambert Loir. Di sana terjejak apa yang dirasakan kaum kolonial ketika melihat orang berhaji dari Mekkah. Tulisannya begini:
Pemeintah kolonial mengadakan pemeriksaan kepada oara haji dan caon haji melalui para bupati dan residen. Salah seorang pegawai Belanda yang masuk Islam dengan mengawini seorang perempuan menak Sunda, KF Holle juga khawatir kepada mereka karena dianggap sebagai sosok penganut Islam ‘fanatik’. Holle termasuk orang yang selalu takut terhadap pengaruh Islam. Dan demi keamanan dan ketertiban supaya mereka diambil tindakan secara represif secara terus menerus.
Uniknya, bahkan Holle mengajukan usulan agar publik membenci sosok haji. Dia mengajkan saran kepada pemerintah kolonial dengan cara yang ganjil bahkan kedengaran lucu: agar pakaian haji digunakan sebagai seragam prajurit, supaya dibenci orang.
Namun usulah Holle tidak disetujui. Pemerintah Belanda tidak mengambil putusan seperti itu. Bahkan para haji yang dinyatakan ‘lulus’ ujian sebagai penyandang gelar haji, boleh berpakaian haji.
Bahkan mlai tahun 180-an, para haji dicurigai terpengaruh oleh paham Pan Islam. Atau dalam istilah aslinya terpengaruh dengan Ittihad al-Islami (kesatuan Islam). Ideologi yang berasal dari Kesultanan Ottoman (Turki Usmani) yang dicetuskab pada tahun 1870-aan yang bertujuan mempersatukan umat Islam seduna di bawah Turk Usmani dengan memerangi kaum kafir imperialis.
Pengaruh gerakan Pan Islam ini pun sangat kuat mempengaruhi aktvis nasionalis Indonesia yang semua juga bergelar haji, seperti H Agoes Salim,HOS Tjokroaminoto yang memandang tokoh seperti Ibnu Saud dan Mustapha Kemal sebagai figur pemimpin Islam saat itu.