Rabu 03 Jun 2020 16:58 WIB

Pengamat: Pembatalan Haji Jangan Dibawa ke Ranah Politik

Komisi VIII DPR merasa tidak dilibatkan dalam keputusan pembatalan haji.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ani Nursalikah
Pengamat: Pembatalan Haji Jangan Dibawa ke Ranah Politik. Foto udara saat jamaah haji dari berbagai negara  memadati Jabal Rahmah saat berwukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (10/8). Sekitar 2 juta jamaah haji dari berbagai negara  berwukuf di tempat ini sebagai salah satu syarat sah berhaji.
Foto: Umit Bektas/Reuters
Pengamat: Pembatalan Haji Jangan Dibawa ke Ranah Politik. Foto udara saat jamaah haji dari berbagai negara memadati Jabal Rahmah saat berwukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (10/8). Sekitar 2 juta jamaah haji dari berbagai negara berwukuf di tempat ini sebagai salah satu syarat sah berhaji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pembatalan ibadah haji 2020 oleh pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) masih menyisakan polemik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, khusus Komisi VIII meradang karena merasa tidak dilibatkan dalam pembatalan ibadah haji 2020 tersebut.

Karena sebagai mitra kerja, Kemenag wajib melibatkan DPR RI dalam segala keputusan mengenai pelaksanaan ibadah haji. Namun, Pengamat Haji dan Umroh Mahfud Djunaedi menegaskan harusnya persoalan tidak perlu dibesar-besarkan.

Baca Juga

Mengingat, kemungkinan memang keputusan mendesak dan harus segera diputusan atau disampaikan. "Mungkin ada sesuatu yang harus segera barangkali terlambat malah repot. Jadi tidak usah dibesar-besarkan dan jangan dibawa ke ranah politik," ujar Mahfud Djunaedi saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (3/6).

Apalagi, Mahfud menjelaskan, hukum menunaikan ibadah haji adalah bagi yang mampu. Artinya tidak semua umat Islam di seluruh dunia harus berangkat ibadah haji setiap tahunnya. bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Selain mampu ekonomi dan kesehatan, juga keadaannya normal, tidak seperti saat ini semua negara tengah dilanda wabah yang penularannya sangat cepat, yaitu Covid-19.

 

"Saya sudah bikin undang-undang, bikin aturan pergi haji itu tidak titik tapi ada komanya, bagi yang mampu. Kalau titik pastinya tua, muda, kaya miskin diwajibkan pergi haji setiap tahun, seperti perintah puasa di bulan ramadhan titik," tambahnya.

Bahkan, lanjut Mahfud, jika Kemenag tidak membatalkan ibadah haji 2020, tidak ada jaminan pemerintah Arab Saudi menerima jamaah haji dari Indonesia dalam kondisi seperti ini, kecuali sudah aman terbebas dari pandemi Covid-19. Menurutnya, Singapura dan Korea saja masih belum mau menerima orang Indonesia. Apalagi dengan jumlah jamaahnya yang mencapai 235-240 ribu orang.

"Siapa yang tidak was-was jamaah segitu banyaknya. Apalagi, rata-rata udah yang umur 60 ke atas, ini saya melihat bukannya saya propemerintah. Kalau semua sudah menyadari kondisi seperti ini, termasuk DPR RI tak perlu dipersoalkan," ujar Dewan Penasihat  Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) tersebut.

Di samping itu, Mahfud juga menduga meski Arab Saudi telah membuka tapi tidak sepenuhnya dibuka penuh. Apalagi prosesi ibadah haji sangat terbuka dan berdempet-dempetan.

Saat tawaf, di Padang Arafah dan juga ketika di muzdhalifah dan itu berbahaya sekali. Namun, kata Mahfud, jika masih ada waktu maka sebaiknya Kemenag dan DPR RI segera bertemu. Sehingga tidak ada lagi perseteruan diantara mereka.

"Ketemu saja langsung saling menyampaikan permasalahan dan maaf-maafan, ini kan masih bulan Syawal. Terus juga segera beri kepastian dan buat aturannya soal uang dan kuota jamaah yang gagal berangkat tahun ini," kata Mahfud.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement