REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Para pengamat haji berharap Kerajaan Arab Saudi segera memberi keputusan apakah akan mengurangi kuota jamaah atau membatalkan ibadah haji sepenuhnya untuk tahun ini. Apa pun keputusan yang diambil, semuanya penuh dengan risiko terlebih ketika kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan.
Negara-negara Muslim juga mendesak Arab Saudi segera memberikan keputusan yang dinilai sangat tertunda, tentang apakah ibadah tahunan kali ini akan berjalan sesuai jadwal pada akhir Juli. Selagi Kerajaan Arab Saudi merundingkan kegiatan ibadah yang sarat dengan risiko politik dan ekonomi ini, waktu yang diperlukan untuk mengatur logistik salah satu pertemuan massal terbesar di dunia ini juga hampir habis.
Penyelenggaraan haji dengan skala penuh, tahun lalu menarik sekitar 2,5 juta jamaah. Tampaknya hal ini semakin tidak mungkin setelah pihak berwenang menyarankan Muslim pada akhir Maret menunda persiapan karena pandemi yang menyebar dengan cepat.
"Ini adalah perdebatan antara menyelenggarakan haji nominal atau melepas sepenuhnya," kata seorang pejabat Asia Selatan yang berhubungan dengan pihak berwenang haji Saudi, dikutip di situs berita NDTV, Rabu (17/6).
Sementara itu, seorang pejabat Arab Saudi mengatakan keputusan akan segera dibuat dan diumumkan. Indonesia, negara dengan Muslim terpadat di dunia, menarik diri dari perjalanan ibadah tahun ini setelah meminta keputusan dari Kerajaan Arab Saudi. Menteri Agama Indonesia menyebut keputusan yang diambil bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan.
Tak lama, Malaysia, Senegal, dan Singapura mengikuti pengumuman serupa. Banyak negara lain dengan populasi Muslim, seperti Mesir, Maroko, Turki, Lebanon, serta Bulgaria mengatakan mereka masih menunggu keputusan Riyadh.
Di negara-negara Eropa seperti Prancis, para pemimpin agama mendesak umat Islam menunda rencana ibadah haji mereka sampai tahun depan karena mengingat risiko yang ada. Haji merupakan suatu keharusan bagi umat Islam yang memiliki tubuh sehat, setidaknya sekali seumur hidup. Ibadah ini juga dinilai menjadi sumber penularan Covid-19 potensial karena menghadirkan jutaan jamaah ke situs-situs keagamaan yang padat.
Setiap keputusan yang diambil, baik membatasi jumlah jamaah atau membatalkan kegiatan haji berisiko mengganggu beberapa Muslim garis keras, yang bagi mereka agama mengalahkan masalah kesehatan. Hal ini juga dapat memicu pengawasan baru terhadap perwalian Saudi atas situs-situs paling suci Islam, dimana menjadi sumber legitimasi politik kerajaan yang paling kuat.
Serangkaian bencana mematikan selama bertahun-tahun, termasuk penyerbuan tahun 2015 yang menewaskan 2.300 jamaah, telah memicu kritik terhadap manajemen haji kerajaan.
"Arab Saudi terperangkap di antara iblis dan laut biru yang dalam. Keterlambatan mengumumkan keputusannya menunjukkan pihaknya memahami konsekuensi politik dari membatalkan haji atau mengurangi skalanya," ujar seorang rekan tamu di Royal United Services Institute di London, Umar Karim.
Salah seorang pejabat Asia Selatan tersebut juga menyebut Kerajaan Arab Saudi berusaha mengulur waktu dan mengeluarkan keputusan dengan hati-hati. "Pada menit terakhir jika Saudi mengatakan 'kami siap melakukan haji penuh', secara logistik banyak negara tidak akan berada dalam posisi siap untuk berpartisipasi," katanya.