REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jika wanita Muslimah mengerjakan ihram atau umrah dalam haji tathawu (sunnah), maka diwajibkan meminta izin kepada suami sebagaimana jika ia hendak melaksanakan puasa sunnah. Tetapi jika pada haji yang wajib, maka tidak ada hak bagi seseorang suami melarang istri menunaikannya.
"Tentunya apabila telah menunaikan syarat-syarat yang ditentukan," kata Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Fiqih Wanita.
Namun, dalam hal ini tetap harus didampingi oleh mahramnya. Karena, hal itu merupakan amalan yang wajib, sebagaimana seorang suami juga tidak memiliki hak melarang istrinya menunaikan puasa Ramadhan, sholat lima waktu dan kewajiban lainnya. Ringkasannya jika wanita Muslimah mengerjakan ihram atau umroh dalam haji wajib atau haji nadzar maka sang suami tidak boleh melarang.
"Demikian menurut pendapat dari mayoritas ulama yang di antaranya adalah An-Nakhai, Ishaq dan Imam Asy-Syafi'i," katanya.
Menanggapi ada pendapat yang mengatakan, seorang suami mempunyai hak melarang istrinya menunaikan haji, karena menurut suami haji itu sesuai dengan kemampuan, sedangkan pada tahun ini belum dimungkinkan, maka Imam Asy Syafi'i mengatakan: "Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Karena haji wajib itu sudah ditetapkan melalui syariat sehingga hukumnya sama dengan pelaksanaan sholat wajib," katanya.
Sedangkan hak suami itu bersifat terus-menerus sehingga jika ia berhak melarangnya pada tahun ini, maka ia juga berhak melarangnya pada setiap tahunnya. Hal yang demikian itu akan mengakibatkan gugurnya salah satu dari lima rukun Islam. Berbeda dengan iddah, di mana iddah tidak bersifat terus-menerus.
Tetapi jika ia melaksanakan ihram atau umrah dalam haji tathawu, maka sang suami mempunyai hak melarang atau membolehkannya. "Sementara itu Alqadhi berpendapat: "Tidak ada hak bagi suami membolehkannya. Karena, haji itu diwajibkan melalui syariat, sehingga ia tidak berhak membolehkannya sebagaimana haji nadzar. "
Diceritakan dari Imam Ahmad, mengenai seorang wanita yang telah bersumpah berpuasa atau menunaikan haji, sedangkan ia mempunyai suami. Maka apakah boleh ia berpuasa atau menunaikan haji tanpa izin kepada suaminya?
Dalam hal ini Syekh Kamil berpendapat, "Tidak ada hak bagi suami melarang istrinya menunaikan haji atau amalan yang diwajibkan atasnya telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan ia sendiri benar-benar dalam keadaan mampu."
Selain itu, ia juga harus disertai oleh seorang mahram karena hal itu merupakan sesuatu yang diwajibkan. Adapun jika belum memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh syariat maka sang suami boleh melarangnya, karena itu dengan demikian kewajiban itu menjadi gugur darinya.
Ibnu Mundzir mengatakan para ulama telah sepakat seorang laki-laki berhak melarang istrinya menunaikan haji tathawu apabila hal itu dapat menghilangkan hak suaminya. Ia berhak melarangnya seperti halnya pada ibadah sunnah yang lain.