REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata mabrur kerap disematkan kepada mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Benarkah demikian? Lantas bisakah seseorang menjadi mabrur sebelum berhaji?
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menjabarkan suatu hadits terkait dengan ungkapan mabrur. Redaksinya yaitu: “An Abi Hurairata anna Rasulullah SAW ayyul amali afdhalu? Faqala: imanun billahi wa Rasulihi qila madza? Qala: al-jihadu fi sabilillahi qila tsumma madza? Hajjun mabrurun."
Yang artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai amal apa yang paling utama? Beliau (Rasulullah) pun menjawab: beriman kepada Allah. Lalu beliau ditanya kembali: apa lagi (yang utama)? Nabi berkata: (yaitu) jihad di jalan Allah. Beliau kembali ditanya: lalu apa lagi? Rasulullah menjawab: haji mabrur."
Ungkapan haji mabrur sendiri yang sejatinya diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW memiliki makna yang mendalam jika ditelusuri dari berbagai aspek. Sedangkan secara tatanan bahasa, kata mabrur dalam Lisanul Arab karya Ibnu Mandur berarti bersikap baik kepada Allah dan sesuatu yang disikapi baik atau diterima.
Senada dengan itu, dalam kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir, kata mabrur dapat diartikan sebagai kebaikan atau kesalehan. Sehingga demikian, mabrur merupakan suatu aktivitas yang bermaksud mencari keridhaan Allah dan kebaikan sebanyak-banyaknya.
Dalam buku Haji dan Umrah karya Prof Quraish Shihab dijelaskan, kata mabrur berasal dari kata barra yang berarti kebaikan, diterima, pemberian, dan keleluasaan. Ibadah haji merupakan ibadah yang merupakan simbol kerohanian yang mengantarkan seorang Muslim masuk ke dalam lingkungan illahi. Caranya, hal itu harus dilakukan dengan benar bahkan sedari niat.
Pengamat Haji dan Umrah Rabithah Haji Ade Marfuddin menjelaskan, mabrur dalam haji sejatinya bukan hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang secara fisik telah berangkat berhaji. Orang yang belum menunaikan ibadah haji, namun telah memiliki niat kuat serta melakukan kebaikan yang besar pun dapat dikatakan mabrur.
“Saya katakan, bisakah seseorang menjadi mabrur sebelum haji? Bisa. Sangat bisa,” kata Ade saat dihubungi Republika.co.id, Rabu malam (1/7).
Kemudian, dia menceritakan tentang bagaimana seorang muwafaq sufi yang hendak berhaji setelah sekian lama menabung. Setelah sekian lama mengumpulkan perbekalan selama haji, dia bersama istrinya pun hendak bergegas menunaikan ibadah haji.
Namun sebelum berangkat, sang istri menginginkan menikmati sup yang dimasak oleh tetangganya. Mereka berdua pun mendatangi tetangganya yang ternyata seorang wanita yang memelihara tiga orang anak yatim.
Di mana di saat menghidangkan sup kepada kedua calon jamaah haji itu, si wanita tersebut rupanya hanya mampu memasak sup dengan daging yang tidak halal. Yakni daging dari bangkai keledai yang dimasak dan dihidangkan.
Mengetahui hal itu, sang sufi pun segera memberikan perbekalan hajinya kepada si wanita tadi. Dia menyedekahkan perbekalan hajinya untuk meringankan beban dan membantu si wanita pemelihara anak-anak yatim.
Sehingga Ade menyebut, kisah sufi yang berasal dari Damaskus itu pun merupakan salah satu contoh bagaimana kemabruran dapat diraih sebelum berhaji apabila nilai-nilai kebaikan selalu diterapkan. Dia pun berpesan kepada jamaah haji yang tidak jadi berangkat tahun ini untuk dapat melapangkan hati dan memetik hikmah dari setiap takdir yang dihidangkan Allah.
Menurutnya, amaliah-amaliah kebajikan yang dapat membuat panjangnya kemabruran sebelum berhaji sangatlah banyak. Sehingga alangkah baiknya umat Muslim yang hendak berhaji maupun yang belum mendaftar haji untuk dapat menunaikan kebaikan tersebut sesegera mungkin.