REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Haji adalah ibadah dhohiriyah dan bathiniyah. Untuk melaksanakannya diperlukan kekuatan fisik (dhohir) untuk menjalankan manasik sesuai ketentuan agama, dan keikhlasan serta kebersihan hati (bathin).
Persiapan yang diperlukan tidak semudah kita berpergian keluar negeri sebagaimana biasa, tetapi persiapan yang jauh lebih pribadi. Sejak awal harus berusaha membersihkan hati dan memasang niat yang ikhlas untuk beribadah hanya karena Allah, menyelesaikan sangkutan hutang piutang dalam muamalah jika ada, meminta maaf kepada handai taulan apabila ada kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat, mencukupi keperluan rumah tangga selama ditinggalkan.
Keseluruhan persiapan tersebut di atas, adalah salah satu bagian yang harus dijalankan bila kita menginginkan ketenangan dalam ibadah haji ini. Seseorang yang dalam hidupnya sering melakukan perjalanan keluar negeri untuk berkerja atau berwisata, akan merasakan suatu yang berbeda dalam batinnya ketika akan melaksanakan ibadah haji.
Karena keberangkatan haji adalah suatu kesempatan istimewa untuk memenuhi panggilan Allah, sehingga tidak berlebihan bahwa perjalanan ini termasuk perjalanan rohani (Rikhlah Ar-Ruhaniyah) yang utama. Sejak mulai kita niat untuk mandi dan bersuci membersihkan badan, harus diiringi niat untuk membersihkan penyakit dan kotoran yang ada didalam hati.
Saat niat dan mengenakan pakaian ihram, kita juga harus bertekad untuk menanggalkan ego pribadi, kesombongan, bangga terhadap kekayaan, kedudukan, yang mungkin selama ini menguasai diri kita, tidak terkecuali, apakah seorang alim, atau akademisi, atau seorang professional, dan interpreneur, bahkan seorang pejabat tinggi, hendaknya sadar bahwa manusia adalah hamba Allah yang lemah (dhoif) yang mengharapkan keridhoan-Nya, karena pakaian ikhram adalah refleksi kain kafan, pakaian yang dipakai diakhir hidup seseorang untuk memasuki alam kubur.
Suatu hari di bulan Ramadhan tahun 2018, di tengah acara buka puasa yang diadakan oleh Gubernur DKI Jakarta DR Anis Baswedan, Wakil Sekjen MUI ustaz M Zaitun Rasmin bertanya kepada Ketua Umum DPP Rabithah Alawiyah Habib Zein Umar bin Sumaith tentang kesediaannya berangkat haji atas undangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz.
"Tawaran ini tanpa saya pikir panjang lagi, langsung saya terima, walaupun saat itu kondisi kesehatan saya kurang baik. Apabila akhirnya undangan tersebut terlaksana, maka keberangkatan haji ini merupakan ibadah haji ketiga bagi saya. Pertama di tahun 1984, ketika usia muda dan fisik masih kuat. dan yang kedua di tahun 2007, dimana usia tidak lagi muda tetapi masih cukup kuat," ujar dia kepada Republika.co.id, Jumat (17/7).
Ketika itu Habib Zein baru berhenti berkerja sebagai seorang professional dan mulai menekuni kegiatan dalam organisasi sosial keagamaan, Rabithah Alawiyah. Dalam perjalanan pulang, dia berpikir jika takdir haji ini sampai terlaksana, berarti Allah telah memberikan kenikmatan yang tak terduga.
Bisa dibayangkan antrian keberangkatan haji termasuk haji khusus harus menunggu bertahun tahun, ini kesempatan datang secara tidak terduga dan sangat tiba-tiba. Inilah yang dikatakan sebagai panggilan Allah dan panggilan Nabi Ibrahim as. “Labbaik Allahumma labbaik“.
Sesampai di rumah, beliau segera sholat syukur untuk mensyukuri anugerah ini, tetapi tidak ada seorangpun dari anggota keluarga yang mengetahuinya, karena telah menjadi kebiasaan tidak memberi suatu informasi, jika belum yakin benar.
Waktu berjalan dengan cepat, tidak ada informasi apapun yang didapat sampai pada pertengahan bulan Dzulqaidah, artinya hanya tinggal dua pekan, awal bulan Dzulhijjah.
"Ada sedikit kegelisahan, tetapi saya kembalikan masalah ini kepada Allah. Jika memang takdir saya menjadi tamu Allah, pastilah itu akan terjadi. Dan benar di saat-saat akhir, saya dihubungi untuk menyerahkan passport dan dokumen penunjang yang dibutuhkan. Saat itu baru saya sampaikan kepada anggota keluarga. Tentunya ini merupakan kabar gembira yang datang tanpa disangka-sangka,"ujar dia.
Pada hari keberangkatan, habib bertemu dengan seluruh calon haji undangan Raja Salman di kediaman Duta Besar Saudi Arabia dan saling berkenalan satu sama lain. Di situ beliau merasa bersyukur lagi, karena kawan-kawan baru ini merupakan tokoh-tokoh dari berbagai perguruan tinggi dan organisasi di tanah air.
Ada pimpinan MUI, pimpinan organisasi masyarakat, akademisi, anak muda berprestasi, dan lain-lain. Siapapun kawan seperjalanannya dia berharap dapat menunaikan haji dengan khusyu’ dan mendapatkan haji yang mabrur, serta menjalin silaturahmi yang tidak terbatas pada masa haji saja.
Sesampainya di Makkah langsung ke Hotel yang khusus disediakan untuk tamu raja yang berasal dari berbagai negara. Jamaah dibagi dalam kelompok untuk mendapat kamar untuk beristirahat.
"Di situ saya harus bersyukur lagi mendapatkan satu kamar, bersama pimpinan rombongan alm Prof DR Yunahar Ilyas, wakil ketua MUI dan ketua Muhammadiyah, dan KH Abdul Rasyid Syafei pimpinan As-Syafeiyah. Saat itu saya baru mengenal Prof Yunahar, tetapi dengan KH Abdul Rasyid Syafei saya sudah mengenal beliau cukup lama," tutur dia.
Sebagaimana dikatakan Amiral Mukminin Umar Ibn Khattab ra, seseorang akan mengenal kawannya dengan baik jika, pertama ia sudah pernah berpergian bersama, kedua ia pernah bermuamalah bersama, yang ketiga ia pernah memberi amanah bersama. Ternyata dengan kreteria pertama saja, habib merasa beliau-beliau ini merupakan orang-orang baik, yang selalu mendahulukan kepentingan kawannya.
Hanya dalam tempo beberapa hari saja, teman sekamar ini seakan merasa dipersaudarakan satu sama lain dalam ibadah haji. Dalam mengisi hari-hari menunggu mabit di Mina dan wukuf di Arafah, bersama teman satu kamar habib mengisi dengan ibadah umroh dan I’ikaf di masjid Haram maupun masjid di lingkungan hotel.
Kenikmatan beribadah ditambah dengan saling membagi ilmu agama maupun ilmu umum dalam diskusi-diskusi yang bermanfaat, apalagi dalam rombongan ini banyak sekali para guru besar, ustaz, akademisi.