Sabtu 17 Oct 2020 05:15 WIB

Sikap Anti-Kapitalis KH Wachid Hasjim Saat Pembatalan Haji 

KH Wachid Hasjim menunjukkan sikap anti-kapitalis saat batalkan haji 1951.

KH Wachid Hasjim menunjukkan sikap anti-kapitalis saat batalkan haji 1951. Jamaah haji tahun 1951 di atas Kapal Rotterdam lloyd menuju Makkah.
Foto:

Berikut uraian pemikiran Kiai Wachid selaku Menteri Agama tentang semangat itu: "Kewadjiban tiap-tiap putera Indonesia jang pertimbangan serta pikirannja masih djernih, ialah berusaha untuk memetjahkan monopoli tadi, terutama bagi putera-putera Muslim Indonesia, jang diwadjibkan oleh agamanja akan mempunjai peralatan hidup di tangannja sendiri; apalagi bagi perdjalanan ibadat Hadji. ...

Soal memetjahkan monopoli ini bukanlah soal ekonomi semata-mata, tetapi terutama merupakan soal kekuasaan. Djika tidak segera kekuasaan diambil di tangan bangsa dan rakjat Indonesia, maka kekuasaan itu akan tetap dipegang oleh tangan jang semula buat selama-lamanja atau buat waktu jang sangat lama.

Tidaklah aneh, bilamana kekuasaan monopoli itu besar sekali terhadap pihak jang dimonopoli, karena ibaratnja orang jang dimonopoli itu seperti seekor kutjing jang mendjilati kikir; ia merasakan darah jang keluar dari lidahnja itu nikmat sekali; ia tiada insaf, bahwa darah itu adalah darahnya sendiri; ia tiada berhentinya menjilati kikir tadi, hingga habislah lidahnya, dan bersama dengan itu habis pulalah jiwanya."(Risalah Perundingan 1951: Djilid XIV (Rapat ke-CXXV s/d ke-CXLI) (Jakarta: DPR RI, 1951), hal. 6963-6983)

Kutipan di atas menggambarkan pemikiran Kiai Wachid tentang cita-cita ke depan bangsa Indonesia untuk mandiri secara ekonomi. Dalam bayangan beliau, kalau dulu Kementerian Agama punya andil besar dalam memompa spirit keagamaan dan moral-perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan dan mengusir penjajahan bangsa asing, maka sudah saatnya pula di alam kemerdekaan ini kita memompa spirit keagamaan dan moral-perjuangan rakyat Indonesia untuk hidup berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). 

Peran umat Islam untuk mengisi pembangunan bangsa ini dengan menggerakkan ekonomi mandiri adalah kuncil tercapainya tujuan masa depan bangsa yang mandiri itu. Retorika kemandiran ekonomi atau nasionalisme ekonomi dari pemerintah kita, lanjut Kiai Wachid, tidak akan tercapai dengan sukses kalau tidak melibatkan peran umat Islam, dengan segenap kemampuan dan modal keagamaan mereka.

Ide-ide “kemerdekaan 100 persen dalam bidang ekonomi” ini tumbuh dan mekar sejak masa muda Kiai Wachid bergaul dengan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Mr Muh. Yamin, dan Jend. Soedirman, di era pendudukan militer Jepang, di hari-hari jelang Proklamasi Kemerdekaan, hingga di masa Revolusi Kemerdekaan. 

Kiprah beliau itu sudah direkam dan ditulis sahabat dekatnya, KH Saifuddin Zuhri, dalam dua bukunya, Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. KH Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama periode 1963-1967 dan juga dipengaruhi ide-ide nasionalisme Kiai Wahid ini. Kiai Wachid juga pernah menjadi penasehat Panglima Besar TNI Jend. Soedirman di era revolusi kemerdekaan. Lihat Harry A Poeze, Verguisd en Vergeten (Leiden: KITLV Press, 2007 ), deel 1, hal 342

Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah mencabut aturan-aturan monopolistik kapitalis itu, lalu merancang satu rencana nasional untuk membangun pelayaran dan industri perkapalan sendiri. Itu pikiran makro Kiai Wachid ke depan untuk perbaikan perjalanan jemaah haji Indonesia. Artinya, perlu power atau kuasa politik untuk membawa langkah itu efektif, dengan memobilisasi segenap sumber daya yang dimiliki bangsa ini. 

Nah, dalam posisi beliau sebagai menteri agama, langkah itu akan jadi lebih kuat lagi kalau dilakukan bersama-sama dengan kementerian lainnya.

Ada dua hal yang ingin dicapai sekaligus dalam pikiran ini. Di satu sisi Kementerian Agama memudahkan para jemaah untuk menjalankan ibadahnya dengan aman dan tenang. Ini karena kendali urusan perkapalan, pelayaran dan pengangkutan jamaah haji sudah sepenuhnya berada di tangan pemerintah. 

Di sisi lain, pemerintah juga bisa mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi bangsa dalam pengembangan bidang kemaritiman. Terutama dalam pengembangan industri maskapai pelayaran nasional. Pemikiran makro ini sebetulnya belum tertangkap oleh sebagian anggota dewan yang mengajukan hak interpelasi. Sebagian mereka tertarik membahas masalah-masalah insidentil, ad hoc dan parsial soal pembatalan haji dan belum melihat lingkup yang lebih luas dan strategis menyangkut kepentingan nasional.

 

*Penulis dan peneliti Islam Nusantara dan Nahdlatul Ulama 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement