IHRAM.CO.ID, JAKARTA--Forum Silaturahmi Asosiasi Travel Haji dan Umroh (Forum SATHU) menyampaikan telah mengusulkan sebanyak 25 Pasal untuk dimasukkan di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law. Setelah RUU disahkan jadi UU hanya satu dari 25 yang diajukan ada di UU Omnibus Law.
"Rancangan Undang-undang Omnibus Law tentang umroh haji itu ada 23 Pasal. Kemudian kita melakukan pertimbangan-pertimbangan menyampaikan kepada mereka sebanyak 25 Pasal," kata Ketua Pembina Forum SATHU, Asrul Azis Taba saat menyampaikan konferensi pers, di Jakarta, Jumat (24/10).
Asrul mengatakan, satu usulan yang masuk di UU Omnibus Law, sebenarnya sudah tertampung di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Di dalam UU 8/2019 itu disebutkan bahwa yang boleh menjadi PPU penyelenggara umroh itu adalah Badan Penyelenggara Wisata (DPW).
"Hanya DPW tanpa menyebutkan bahwa PPIU itu harus dimiliki, dipimpin oleh warga negara yang beragama Islam. Dan kita koreski ternyata itu masuk dalam undang-undang Omnibus Law," katanya.
Asrul mengatakan, sebenarnya yang diharapkan Forum SATHU di mana semua atura yang ada di dalam UU 8/2019 itu bis diperbaiki oleh UU Omnibus law antara lain misalnya memperbaiki ketentuan akreditasi, deposit, proses perizinan baru, perpanjang izin, dan proses pelayanan jamaah dan lain sebagainya.
"Kita minta untuk tidak dikaitkan dengan perizinan yang selama ini oleh kementerian agama perpanjangan segala macam ini selalu terkait dengan akreditasi. Jadi tidak ada perpanjangan sebelum akreditasi," katanya.
Padahal berdasarkan telaah tim hukum Forum SATHU, bahwa akreditasi menurut UU 8/2019 itu adalah kebutuhan pemerintah untuk memberikan penilaian kepada setiap penyelenggara untuk disampaikan kepada masyarakat. Jadi sebenarnya akreditasi menurut aturan tersebut merupakan urusan pemerintah bukan PPIU.
Akan tetapi oleh peraturan-peraturan yang selama ini dikaitkan bahwa setiap perpanjangan ini harus perpanjangan akreditasi terlebih dulu, padahal UU menyebutkan izin usaha umroh itu berlaku sepanjang perusahaan yang bersangkutan melakukan kegiatan ibadah umrah.
"Bahkan salah satu usulan yang kami sampaikan karena akreditasi merupakan kewajiban pemerintah maka biaya akreditasi tidak dibebankan kepada penyelenggara," katanya.
Karena kata dia, jika akreditasi dibayar PPIU bisa terjadi tindakan kontraproduktif yang bisa berujung kepada tindakan korupsi. Maka dari itu ketentuan yang baru ini harus menegaskan bahwa akreditasi dibayar pemerintah.
"Ketika sebuah penyelenggara melakukan akreditasi dan dia harus membayar maka secara tidak langsung ada korupsi," katanya.